Tempo hari saya melihat tayangan ulang kontes Muslimah di salah satu TV swasta. Mirip kontes “Muslimah Beauty” yang digelar Detik.com. Kebetulan, pas giliran Yenny Wahid yang mengajukan pertanyaan kepada seorang kontestan. Inti pertanyaannya mengenai apa itu “Islam Nusantara. Yang ditanya, juga tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut dengan gamblang.
Baru-baru ini muncul polemik di media sosial tentang tilawah Al-Quran dengan langgam Jawa. Peristiwa yang terjadi pada peringatan Isra Miraj di Istana Negara ini menuai pro dan kontra. Namun, sang penggagasnya yaitu Menteri Agama, Gus Lukman Hakim Saefuddin mengatakan “Tujuan pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa adalah menjaga dan memelihara tradisi Nusantara dalam menyebarluaskan ajaran Islam di tanah air,” kata Gus Lukman melalui akun Twitter resminya, Ahad, 17 Mei 2015.
Harus kita akui kalangan NU terdepan dalam urusan menjaga tradisi Islam Nusantara. Islam Nusantara sudah menjadi trademark tersendiri bagi mereka. Oleh karena itu, artikel ini mencoba berbicara tentang Islam Nusantara. Bagaimana definisinya, siapa pengusungnya dan apa tujuan akhirnya.
“Islam Nusantara itu apa? Kalau masih nggak jelas konsepnya kok dikoarkan ke publik? Publik butuh jawaban, bukan diskusi, terkait dengan aksi ISIS.
Islam Nusantara yang belum jelas ini justru bisa membuat orang-orang yang bingung berpaling ke radikalisme, karena bisa jadi radikalisme lebih jelas konsepnya.” – Begitulah kata Mas Binhad Nurohmat dalam akun facebook-nya.
Saya baru berteman dengan Mas Binhad. Beliau ini pernah kuliah di STF Driyarkara. Sebagai Muslim yang dibesarkan dalam kultur NU, anggaplah demikian. Tetapi beliau ini kritis terhadap wacana-wacana keislaman. Tidak taklid buta seperti yang lain.
Istilah Islam nusantara ini sudah ada di masa lampau. Istilah ini sudah diadopsi menjadi nama kampus swasta di Jawa Barat, yaitu Universitas Islam Nusantara (UNINUS). Namun, sejak KH. Said Aqil terpilih menjadi Ketum PBNU, Istilah ini gencar dipromosikan ke tengah umat.
BACA JUGA Dengan Al-Quran, Lebih Banyak Alasan Bagi Kita untuk Bersatu daripada Berpecah
“Islam Nusantara adalah gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat di Tanah Air. Ini bukan barang baru di Indonesia,” kata Ketum PBNU Prof KH Said Aqil Siraj. Sebagaimana diberitakan Republika, beliau mengatakan, konsep Islam Nusantara menyinergikan ajaran Islam dengan adat istiadat lokal yang banyak tersebar di wilayah Indonesia (Republika Online, 10 Maret 2015).
Seringkali konsep Islam nusantara dinisbatkan kepada Walisongo. Konon menurut catatan sejarah yang diyakini kalangan NU termasuk dalam hal ini ayah saya, para wali tersebut melakukan Islamisasi dengan pendekatan budaya. Tradisi Slametan, Kupatan dan sejenisnya merupakan kreasi para wali, khususnya Sunan berdarah Jawa seperti Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang.
Terkait hal itu, saya berpandangan tradisi ini sifatnya temporal, bukan sakral. Akan tetapi hingga kini pendekatan untuk mengislamkan orang Hindu kala itu untuk era sekarang tetap jadi hal yang sakral. Seakan-akan wajib! Bahasa kasarnya, menjadi Rukun Islam ke 6.
Ambil contoh, bila ada sebuah keluarga di kampung atau pedesaan tidak melestarikan tradisi Slametan, kupatan dan sejenisnya, akan mendapat 2 resiko. Pertama, jadi bahan pergunjingan tetangga bahkan bisa pula dikucilkan. Kedua, dicap sebagai penganut paham Wahabi.
Satu lagi, Nusantara ini luas. Bukan hanya bicara Jawa saja, masih ada Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali hingga Irian Jaya. Baik saya maupun pembaca akan paham bahwa konsep Islam Nusantara yang diusung kalangan NU sifatnya jawasentris.
Di Jawa itu Islam menyesuaikan dengan budaya lokal. Apakah jika elit-elit NU mempromosikan Islam Nusantara ke pulau Sumatera akan laku? Sedangkan di satu sisi, secara garis besar Sumatera itu adat dan budaya menyesuaikan dengan Islam (Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah). Belum lagi di Sumatera sudah menjadi basisnya Muslim Modernis seperti Muhammadiyah. Bahkan, di daerah tertentu kepala daerahnya dari Partai Dakwah yang dianggap beberapa kiai NU sebagai partainya kaum wahabi.
BACA JUGA Editorial: Ketika Olahraga Jadi Alat Politik
Sebetulnya siapa yang mensponsori konsep “Islam Nusantara”? Apakah murni dari NU ataukah ditungggangi pihak Asing. Sebut saja Ford foundation, The Asia Foundation, USAID dan sejenisnya. Sudah lama diketahui, wacana-wacana nyeleneh dan prematur dibiayai oleh Asing. Mulai dari proyek pluralisme agama, multikulturalisme, gender, hingga deradikalisasi teroris. Saya ingin kalangan yang mengusung konsep ini transparan kepada umat.
Selanjutnya saya penasaran juga, sebenarnya apa tujuan akhir dari konsep “Islam nusantara”. Ingin memperkuat eksistensi agama Allah kah? Ataukah memperkuat ladang kehidupan para elit NU dari serbuan purifikasi kalangan Muhammadiyah, Persis, Hidayatullah dan kawan-kawan. Bukankah tradisi-tradisi Slametan, Tingkepan, Maulid dan sejenisnya juga menyangkut hajat hidup elit-elit NU. Apa jadinya bila tradisi seperti itu musnah?
Agama Sinkretis
Bila ditarik sebuah kesimpulan, Pertama, konsep Islam Nusantara hanya menghasilkan praktek beragama yang sinkretik. Konsep Islam nusantara mengingatkan saya akan teori Clifford Geertz: “Abangan, Santri, dan Priyayi”. Teori ini benar-benar menggambarkan realita masyarakat Jawa yang telah mengalami sinkretisasi dengan nilai-nilai budaya dan tradisi lokal setempat.
Kedua, Konsep Islam Nusantara membuat Islam mengalami “jawanisasi”. Harusnya berdakwah itu Islamisasi Jawa dengan menghilangkan hal-hal yang mengandung bid’ah, khurafat dan Tahayul. Hal serupa terjadi di Eropa. Disana ada kebijakan Eropanisasi Islam. Alasannya agar Islam tak dipandang sebagai ancaman. Contoh praktek Eropanisasi Islam yakni meninggalkan cadar (Republika Nnline, 7 juni 2011).
Ketiga, Saya menyarankan daripada sibuk menggarap Proyek Islam nusantara, mendingan elit-elit NU menggarap entrepreneurship. Karena sebentar lagi akan bergulir MEA 2015. Saya tidak yakin apakah pesantren sebagai basis utama NU siap menghadapi serbuan tenaga kerja dan produk-produk Asing. Wallahu’allam bishowwab.
Ditulis Oleh: Fadh Ahmad Arifan (Penulis adalah Pendidik di MA Muhammadiyah 2, kota Malang)
Post A Comment:
0 comments: