Alunan suara bacaan Al-Quran langgam Jawa di Istana Negara beberapa waktu lalu masih mengiang di telinga umat Islam Indonesia. Bak virus ganas, potongan video bacaan Surat An-Najm ayat 1-15 oleh Muhammad Yasser Arafat segera menyebar luas dan menyisakan tanya di tengah kaum muslimin.
Sesaat setelah kemunculan bacaan Al-Quran langgam Jawa di Istana Negara, menyeruak tanya siapa orang di balik acara itu. Jokowi yang menjadi tuan rumah langsung disorot tajam. Namun sedikitpun tak segera muncul klarifikasi dari rumah tangga istana yang menanggapi kebingungan umat.
Tak lama berselang, muncul statement Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang secara terus terang mengakui bahwa bacaan Al-Quran versi langgam Jawa di Istana Negara adalah inisiatifnya. Dia berdalih bahwa itu dilakukan dalam rangka melestarikan tradisi Islam Nusantara. Dengan bangga pula, sang menteri menyatakan akan memfestivalkan gaya bacaan Al-Quran tersebut.
“Tujuan pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa adalah menjaga dan memelihara tradisi Nusantara dalam menyebarluaskan ajaran Islam di Tanah Air,” kata Saifuddin.
Apakah jawaban Menteri Lukman menjawab kebingungan umat Islam Indonesia? Ternyata tidak. Yang terjadi justru kegaduhan akibat lagu bacaan Al-Quran versi langgam itu. Tak butuh waktu lama, muncullah berbagai macam pendapat disertai alasan yang mendukung dan menolak bacaan Al-Quran yang tak biasa terdengar di telinga umat itu.
Sebagian kalangan ulama menjelaskan tak ada masalah dalam bacaan Al-Quran gaya langgam, asalkan tak menabrak aturan-aturan yang ada. Memperhatikan tajwid dan makhraj yang tak merubah makna kata adalah syarat wajib yang harus dipenuhi dalam membaca kita suci umat Islam itu. Namun semua sepakat, gaya bacaan Al-Quran apapun tidak boleh menimbulkan madharat.
KH Cholil Ridwan, salah satu ulama di Majelis Ulama Indoneia (MUI), mewanti-wanti perihal timbulnya mudharat berupa perpecahan di kalangan umat Islam, terutama akibat masifnya kampanye tradisi Islam Nusantara itu. “Akhirnya umat Islam akan punya PR terus,” kata Kyai Cholil.
Pro kontra terus bergulir. Pihak-pihak yang menolak menilai bacaan Al-Quran versi langgam termasuk menyelisihi kultur kitab suci umat Islam itu sendiri, yang memang diturunkan dalam bahasa Arab. Selain itu, potensi terlanggarnya kaidah bacaan yang baik dan benar sangat besar dengan gaya bacaan seperti itu.
Yang memprihatinkan, bagi kalangan yang mendukungnya, isu langgam ini justru menjadi arena olok-olok terhadap Islam sendiri. Dan lagi-lagi kaum liberal lah yang berjajar dalam barisan ini.
Dukungan yang berujung pada pelecehan Islam muncul dari mulut Ade Armando, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI) yang berpikiran liberal dan dikenal sebagai salah satu pendukung setia Jokowi saat Pemilu lalu. “Allah kan bukan orang Arab. Tentu Allah senang kalau ayat-ayatNya dibaca dg gaya Minang, Ambon, Cina, Hiphop, Blues…,” kicau Ade di Twitter. Kalimat serupa juga dijadikan status oleh Ade di jejaring sosial Facebook.
BACA JUGA Pecah..! Ribuan Warga Solo Deklarasikan #2019GantiPresiden
Bisa ditebak, kecaman dan hujatan dari berbagai kalangan umat Islam segera meluncur, mengarah ke Ade. Tak cukup sampai di situ, ucapan dosen itu pun bermuara di jalur hukum. Dia dilaporkan ke pihak Kepolisian karena dianggap telah melakukan penistaan terhadap agama.
Peristiwa diatas barangkali hanya menjadi secuil kegaduhan yang terjadi sebagai akibat dari rangkaian kampanye tradisi Islam Nusantara. Melihat itu, masihkah Pak Menteri Lukman keukeuh mengusung Islam Nusantara, yang menjadikan bacaan Al-Quran langgam Jawa sebagai salah satu sarananya.
Akan semakin memprihatinkan jika kegaduhan, bahkan potensi perpecahan umat Islam, hanya ditukar dengan sebuah cita-cita tertinggi di atas panggung festival. Islam Nusantara, inikah PR baru umat Islam?
Imam Suroso, Jurnalis Kiblat.net
Sesaat setelah kemunculan bacaan Al-Quran langgam Jawa di Istana Negara, menyeruak tanya siapa orang di balik acara itu. Jokowi yang menjadi tuan rumah langsung disorot tajam. Namun sedikitpun tak segera muncul klarifikasi dari rumah tangga istana yang menanggapi kebingungan umat.
Tak lama berselang, muncul statement Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang secara terus terang mengakui bahwa bacaan Al-Quran versi langgam Jawa di Istana Negara adalah inisiatifnya. Dia berdalih bahwa itu dilakukan dalam rangka melestarikan tradisi Islam Nusantara. Dengan bangga pula, sang menteri menyatakan akan memfestivalkan gaya bacaan Al-Quran tersebut.
“Tujuan pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa adalah menjaga dan memelihara tradisi Nusantara dalam menyebarluaskan ajaran Islam di Tanah Air,” kata Saifuddin.
Apakah jawaban Menteri Lukman menjawab kebingungan umat Islam Indonesia? Ternyata tidak. Yang terjadi justru kegaduhan akibat lagu bacaan Al-Quran versi langgam itu. Tak butuh waktu lama, muncullah berbagai macam pendapat disertai alasan yang mendukung dan menolak bacaan Al-Quran yang tak biasa terdengar di telinga umat itu.
Sebagian kalangan ulama menjelaskan tak ada masalah dalam bacaan Al-Quran gaya langgam, asalkan tak menabrak aturan-aturan yang ada. Memperhatikan tajwid dan makhraj yang tak merubah makna kata adalah syarat wajib yang harus dipenuhi dalam membaca kita suci umat Islam itu. Namun semua sepakat, gaya bacaan Al-Quran apapun tidak boleh menimbulkan madharat.
KH Cholil Ridwan, salah satu ulama di Majelis Ulama Indoneia (MUI), mewanti-wanti perihal timbulnya mudharat berupa perpecahan di kalangan umat Islam, terutama akibat masifnya kampanye tradisi Islam Nusantara itu. “Akhirnya umat Islam akan punya PR terus,” kata Kyai Cholil.
Pro kontra terus bergulir. Pihak-pihak yang menolak menilai bacaan Al-Quran versi langgam termasuk menyelisihi kultur kitab suci umat Islam itu sendiri, yang memang diturunkan dalam bahasa Arab. Selain itu, potensi terlanggarnya kaidah bacaan yang baik dan benar sangat besar dengan gaya bacaan seperti itu.
Yang memprihatinkan, bagi kalangan yang mendukungnya, isu langgam ini justru menjadi arena olok-olok terhadap Islam sendiri. Dan lagi-lagi kaum liberal lah yang berjajar dalam barisan ini.
Dukungan yang berujung pada pelecehan Islam muncul dari mulut Ade Armando, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI) yang berpikiran liberal dan dikenal sebagai salah satu pendukung setia Jokowi saat Pemilu lalu. “Allah kan bukan orang Arab. Tentu Allah senang kalau ayat-ayatNya dibaca dg gaya Minang, Ambon, Cina, Hiphop, Blues…,” kicau Ade di Twitter. Kalimat serupa juga dijadikan status oleh Ade di jejaring sosial Facebook.
BACA JUGA Pecah..! Ribuan Warga Solo Deklarasikan #2019GantiPresiden
Bisa ditebak, kecaman dan hujatan dari berbagai kalangan umat Islam segera meluncur, mengarah ke Ade. Tak cukup sampai di situ, ucapan dosen itu pun bermuara di jalur hukum. Dia dilaporkan ke pihak Kepolisian karena dianggap telah melakukan penistaan terhadap agama.
Peristiwa diatas barangkali hanya menjadi secuil kegaduhan yang terjadi sebagai akibat dari rangkaian kampanye tradisi Islam Nusantara. Melihat itu, masihkah Pak Menteri Lukman keukeuh mengusung Islam Nusantara, yang menjadikan bacaan Al-Quran langgam Jawa sebagai salah satu sarananya.
Akan semakin memprihatinkan jika kegaduhan, bahkan potensi perpecahan umat Islam, hanya ditukar dengan sebuah cita-cita tertinggi di atas panggung festival. Islam Nusantara, inikah PR baru umat Islam?
Imam Suroso, Jurnalis Kiblat.net
Post A Comment:
0 comments: