Di tengah khusuknya kaum Muslimin menunaikan ibadah berpuasa, sekonyong-konyong umat ini seolah disibukkan dengan kemunculan istilah baru bernama “Islam Nusantara”. Dalam pembukaan Munas Alim-Ulama NU di Masjid Istiqlal, pada Ahad (14/06), Presiden Jokowi mengatakan, “Islam kita adalah Islam Nusantara, Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh tata krama, itulah Islam Nusantara, Islam yang penuh toleransi.”
Hal ini menjadi fenomena yang menarik diperbincangkan. Bukan melihatnya dari sudut pandang bagaimana proses kesejarahan masuknya Islam ke Indonesia, sehingga melahirkan akulturasi nilai yang integral dan khas. Melainkan seolah isu ini dijadikan pembenaran sejarah munculnya Islam dalam bingkai kampanye secara masif, Islam Nusantara, yang didikotomikan dengan Islam Radikalis atau Islam Fundamentalis.
Apalagi, munculnya Islam Nusantara dianggap sebagai antitesa dari gambaran Islam Timur Tengah yang dicitrakan penuh dengan kekerasan dan perpecahan dengan mengangkat realitas politik yang berkembang saat ini. Ditambah lagi sebagaimana disampaikan oleh Jokowi berulang-ulang di berbagai forum internasional tentang pentingnya membangun kesan lain atau citra spesifik gambaran Islam Nusantara kepada Barat. Sebuah gambaran Islam yang toleran, sopan santun, moderat dan damai.
Masifnya kampanye Islam Nusantara di tengah konstelasi politik global seperti mengindikasikan bagaimana memosisikan Indonesia sebagai entitas politik mayoritas muslim terbesar dalam percaturan politik internasional. Sangat naif untuk tidak menyebut ada sebuah skenario besar negara-negara adi daya Eropa dan Amerika, sebagai pemain politik utama dunia di tengah kecamuk politik internasional.
Sangat mudah melihat perilaku politik negara-negara besar melalui berbagai strategi politik intervensi dan invasinya. Ada pola dan intensitas yang berbeda bagaimana negara-negara besar memperlakukan negeri-negeri Muslim di jazirah Arab (Timur Tengah) dengan di Asia terutama Asia Tenggara.
Nampaknya, kekhawatiran Barat dalam konteks ini adalah besarnya pengaruh resonansi konflik Timur Tengah yang bergolak kepada potensi pergolakan yang sama di negara lain termasuk Indonesia. Dan, sebagai sebuah negara yang secara politik, ekonomi, sosial dan budaya sangat bergantung pada negara lain, maka Indonesia memiliki potensi untuk dibuatkan sebuah rumusan intelektual baru.
Caranya, dengan memanfaatkan legitimasi historis, psikologi sosial yang lemah, ketidakberdayaan intelektual, budaya sinkretis, phobia nilai islam yang secara substansial memiliki kepentingan yang sama dan sejalur dengan kepentingan barat bernama Islam Nusantara. Islam ala Indonesia yang berbeda sama sekali dengan Islam negara lain. Namun kompromis dengan barat karena dianggap bertentangan dengan gambaran Islam Radikalis atau Islam Fundamentalis yang direpresentasikan oleh Timur Tengah.
Betapa luar biasanya skenario global terhadap Islam dengan pendekatan adu domba melibatkan kepentingan negara dan kelompok melalui tangan para penguasanya. Parahnya, kelompok-kelompok Islam yang dimanfaatkan itu juga memiliki kepentingan politik pragmatis yang sejalan sehingga mudah diperdaya.
Kampanye Islam Nusantara di tengah arus ‘War On Terrorism’
Di tengah longgarnya interpretasi terhadap sejarah Islam Nusantara (Indonesia), kampanye masif Islam Nusantara nampaknya tidak bisa dipisahkan dengan sejarah panjang “War On Terrorism”. Meski hal itu sengaja ditutup-tutupi agar tidak kelihatan wajah aslinya dan agar mendapatkan tingkat penerimaan yang tinggi.
Dengan memanfaatkan potensi masyarakat berbasis kultur patrimonial terutama di Jawa. Sebuah kultur yang lebih mengedepankan ikatan emosional dengan para kyainya ketimbang ikatan rasional. Potensi psikologi kultur masyarakat seperti itu dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan politik pragmatis para pemimpinnya. Tak bisa dipungkiri, bahwa rumusan Islam Nusantara adalah metamorfosis dari Islam Moderat yang secara masif dikampanyekan sebelumnya. Agar mendapatkan kesesuaian emosional, sosial dan kultural dengan masyarakat Indonesia maka istilah yang dipandang tepat adalah Islam Nusantara.
Istilah ini lebih menusuk alam bawah sadar masyarakat Indonesia. Meski jika digali secara normatif mengikuti tradisi intelektual salafus shalih akan sangat terbatas narasi yang dibangun. Hanyalah berisi legitimasi historis, sosial, kultural dan politis. Dengan menggunakan pendekatan tafsir kontekstual sebagaimana barat mengembangkan tafsir “hermeneutika”. Hal ini seperti melihat Islam menggunakan kacamata Barat. Layaknya menjelaskan Islam seperti tertuduh penuh rasa bersalah.
Jika mencermati asal muasal Islam Nusantara alias Islam Moderat maka penting melihat kembali sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh seorang mantan Menteri Pertahanan AS, Paul Wolfowitz yang menyatakan, “Untuk memenangkan perjuangan yang lebih dahsyat ini, adalah sebuah kesalahan kalau menganggap kita yang memimpin. Tapi kita harus semaksimal mungkin mendorong suara-suara muslim moderat.” (Siapakah Muslim Moderat?, Suaidi Asy’ari, Ph.D, 2008).
Perbincangan Islam Moderat ini adalah sebuah perjalanan panjang yang terkait dengan pembahasan hangat tentang terorisme, fundamentalisme dan radikalisme. Mereka mendapatkan momentumnya pada peristiwa WTC 9/11 di dunia. Sementara di Indonesia, diawali dengan terjadinya bom Bali diteruskan bom JW Marriot dan Ritz Carlton hingga sekarang dengan keberadaan ISIS.
Tiga tahun setelah peristiwa 9/11, Huntington menegaskan perlunya musuh baru bagi Amerika Serikat dan barat. Dan katanya, musuh itu sudah ketemu, yaitu kaum Islam militan. Dalam bukunya, “Who Are We?” (2004), Huntington menempatkan satu sub-bab berjudul “Militant Islam vs America”, yang menekankan, bahwa saat ini, Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS. Setelah itu terjadilah “perburuan Islam militan” atau “Islam radikal”. Mulai dari Usama Bin Laden hingga IS ala ISIS yang dianggap sebagai simbol teroris internasional.
Kerangka masif kampanye Islam Nusantara alias Islam Moderat di berbagai forum dan kesempatan oleh berbagai pihak di bawah komando Jokowi menyisakan pertanyaan besar ada kepentingan besar apa sebenarnya yang ada di baliknya ? Wallahu a’lam bis shawab.
Oleh: Abu Fikri (Aktivis Gerakan Revivalis Indonesia)
Hal ini menjadi fenomena yang menarik diperbincangkan. Bukan melihatnya dari sudut pandang bagaimana proses kesejarahan masuknya Islam ke Indonesia, sehingga melahirkan akulturasi nilai yang integral dan khas. Melainkan seolah isu ini dijadikan pembenaran sejarah munculnya Islam dalam bingkai kampanye secara masif, Islam Nusantara, yang didikotomikan dengan Islam Radikalis atau Islam Fundamentalis.
Apalagi, munculnya Islam Nusantara dianggap sebagai antitesa dari gambaran Islam Timur Tengah yang dicitrakan penuh dengan kekerasan dan perpecahan dengan mengangkat realitas politik yang berkembang saat ini. Ditambah lagi sebagaimana disampaikan oleh Jokowi berulang-ulang di berbagai forum internasional tentang pentingnya membangun kesan lain atau citra spesifik gambaran Islam Nusantara kepada Barat. Sebuah gambaran Islam yang toleran, sopan santun, moderat dan damai.
Masifnya kampanye Islam Nusantara di tengah konstelasi politik global seperti mengindikasikan bagaimana memosisikan Indonesia sebagai entitas politik mayoritas muslim terbesar dalam percaturan politik internasional. Sangat naif untuk tidak menyebut ada sebuah skenario besar negara-negara adi daya Eropa dan Amerika, sebagai pemain politik utama dunia di tengah kecamuk politik internasional.
Sangat mudah melihat perilaku politik negara-negara besar melalui berbagai strategi politik intervensi dan invasinya. Ada pola dan intensitas yang berbeda bagaimana negara-negara besar memperlakukan negeri-negeri Muslim di jazirah Arab (Timur Tengah) dengan di Asia terutama Asia Tenggara.
Nampaknya, kekhawatiran Barat dalam konteks ini adalah besarnya pengaruh resonansi konflik Timur Tengah yang bergolak kepada potensi pergolakan yang sama di negara lain termasuk Indonesia. Dan, sebagai sebuah negara yang secara politik, ekonomi, sosial dan budaya sangat bergantung pada negara lain, maka Indonesia memiliki potensi untuk dibuatkan sebuah rumusan intelektual baru.
Caranya, dengan memanfaatkan legitimasi historis, psikologi sosial yang lemah, ketidakberdayaan intelektual, budaya sinkretis, phobia nilai islam yang secara substansial memiliki kepentingan yang sama dan sejalur dengan kepentingan barat bernama Islam Nusantara. Islam ala Indonesia yang berbeda sama sekali dengan Islam negara lain. Namun kompromis dengan barat karena dianggap bertentangan dengan gambaran Islam Radikalis atau Islam Fundamentalis yang direpresentasikan oleh Timur Tengah.
Betapa luar biasanya skenario global terhadap Islam dengan pendekatan adu domba melibatkan kepentingan negara dan kelompok melalui tangan para penguasanya. Parahnya, kelompok-kelompok Islam yang dimanfaatkan itu juga memiliki kepentingan politik pragmatis yang sejalan sehingga mudah diperdaya.
Kampanye Islam Nusantara di tengah arus ‘War On Terrorism’
Di tengah longgarnya interpretasi terhadap sejarah Islam Nusantara (Indonesia), kampanye masif Islam Nusantara nampaknya tidak bisa dipisahkan dengan sejarah panjang “War On Terrorism”. Meski hal itu sengaja ditutup-tutupi agar tidak kelihatan wajah aslinya dan agar mendapatkan tingkat penerimaan yang tinggi.
Dengan memanfaatkan potensi masyarakat berbasis kultur patrimonial terutama di Jawa. Sebuah kultur yang lebih mengedepankan ikatan emosional dengan para kyainya ketimbang ikatan rasional. Potensi psikologi kultur masyarakat seperti itu dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan politik pragmatis para pemimpinnya. Tak bisa dipungkiri, bahwa rumusan Islam Nusantara adalah metamorfosis dari Islam Moderat yang secara masif dikampanyekan sebelumnya. Agar mendapatkan kesesuaian emosional, sosial dan kultural dengan masyarakat Indonesia maka istilah yang dipandang tepat adalah Islam Nusantara.
Istilah ini lebih menusuk alam bawah sadar masyarakat Indonesia. Meski jika digali secara normatif mengikuti tradisi intelektual salafus shalih akan sangat terbatas narasi yang dibangun. Hanyalah berisi legitimasi historis, sosial, kultural dan politis. Dengan menggunakan pendekatan tafsir kontekstual sebagaimana barat mengembangkan tafsir “hermeneutika”. Hal ini seperti melihat Islam menggunakan kacamata Barat. Layaknya menjelaskan Islam seperti tertuduh penuh rasa bersalah.
Jika mencermati asal muasal Islam Nusantara alias Islam Moderat maka penting melihat kembali sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh seorang mantan Menteri Pertahanan AS, Paul Wolfowitz yang menyatakan, “Untuk memenangkan perjuangan yang lebih dahsyat ini, adalah sebuah kesalahan kalau menganggap kita yang memimpin. Tapi kita harus semaksimal mungkin mendorong suara-suara muslim moderat.” (Siapakah Muslim Moderat?, Suaidi Asy’ari, Ph.D, 2008).
Perbincangan Islam Moderat ini adalah sebuah perjalanan panjang yang terkait dengan pembahasan hangat tentang terorisme, fundamentalisme dan radikalisme. Mereka mendapatkan momentumnya pada peristiwa WTC 9/11 di dunia. Sementara di Indonesia, diawali dengan terjadinya bom Bali diteruskan bom JW Marriot dan Ritz Carlton hingga sekarang dengan keberadaan ISIS.
Tiga tahun setelah peristiwa 9/11, Huntington menegaskan perlunya musuh baru bagi Amerika Serikat dan barat. Dan katanya, musuh itu sudah ketemu, yaitu kaum Islam militan. Dalam bukunya, “Who Are We?” (2004), Huntington menempatkan satu sub-bab berjudul “Militant Islam vs America”, yang menekankan, bahwa saat ini, Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS. Setelah itu terjadilah “perburuan Islam militan” atau “Islam radikal”. Mulai dari Usama Bin Laden hingga IS ala ISIS yang dianggap sebagai simbol teroris internasional.
Kerangka masif kampanye Islam Nusantara alias Islam Moderat di berbagai forum dan kesempatan oleh berbagai pihak di bawah komando Jokowi menyisakan pertanyaan besar ada kepentingan besar apa sebenarnya yang ada di baliknya ? Wallahu a’lam bis shawab.
Oleh: Abu Fikri (Aktivis Gerakan Revivalis Indonesia)
Post A Comment:
0 comments: