Wacana Islam Nusantara bergulir. Gendang utamanya ditabuh oleh pernyataan Presiden Jokowi pada acara pembukaan Munas Ulama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di Masjid Istiqlal, Minggu (14/6). “Islam Nusantara adalah Islam yang ramah, tidak radikal, inklusif dan toleran,” ujarnya.
Sangat mirip dengan pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa, isu Islam Nusantara ini pun membuat umat kembali terjebak dalam hiruk-pikuk yang membingungkan. Hiruk pikuk yang sebenarnya tidak perlu, bahkan kontraproduktif! Mengapa?
Dari penyebab kemunculannya, kita patut bertanya, mengapa tiba-tiba kembali dimunculkan istilah yang mengkotak-kotakkan Islam dalam sekat Nusantara maupun lainnya? Kalau penyebabnya adalah perilaku sebagian kaum Muslimin yang dianggap meresahkan, mengapa harus menyoal Islam-nya?
Bila kita gundah dengan sekelompok massa berjubah yang melakukan tindakan semena-mena atas nama nahi munkar, kritik saja dengan adab-adab nahi munkar yang sudah diatur oleh Islam. Pun juga kita gusar dengan berbagai kejadian di Timteng yang mengatasnamakan Islam, mari kaji dalil Islam yang dianggap membenarkannya.
Bila kita resah dengan takfir (pengkafiran), tabdi’ (pembid’ahan) dan tasyrik (pemusyrikan), solusinya pun sederhana. Biarkan para alim ulama duduk untuk menjadikan ilmu sebagai hakim atas semua persoalan yang diperdebatkan. Toh, apapun masalahnya, Islam dengan segenap disiplin ilmu yang dikandungnya telah menyediakan jawabannya.
Ilmu Ushul Fikih, misalnya, telah memberikan panduan bagaimana mengimplementasikan syariat Islam yang luwes namun tidak sesat nilai. Pengakuan akan kebiasaan sebuah masyarakat, misalnya, diakui dengan istilah Al-‘Urf.
Selama sebuah tradisi tidak bertabrakan dengan kaidah-kaidah Islam, sah untuk dijalankan. Namun ketika bertentangan, di situlah Islam sebagai agama didahulukan atas tradisi dan budaya. Maka, penjelasan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Ya’qub dalam hal ini cukup pendek, tapi menjawab tuntas: “Islam itu agama. Nusantara itu budaya.”
Penjelasan Ulama NU tersebut membuktikan bahwa semua masalah dalam Islam, solusinya adalah ilmu. Ini sekaligus menambah keprihatinan kita, betapa di akhir zaman ini banyak pihak begitu mudah berbicara tentang Islam padahal tidak punya kompetensi ilmu Islam.
Munculnya Islam Nusantara juga menimbulkan sebuah pertanyaan mendasar, seperti apa bentuknya. Sebab, mengacu kepada istilah Nusantara berarti tidak terbatas hanya pada Jawa. Tak salah bila kemudian muncul kecurigaan adanya dominasi Jawa dalam praktek keislaman.
Pun ketika Islam Nusantara melampaui sampai pada batas menolak Arabisasi, tentu saja kita patut tertawa sekaligus waspada. Tertawa, karena geli melihat sekelompok orang yang sok tahu, menganggap Islam seratus prosen adalah Arab. Waspada, jangan-jangan ada penumpang gelap di balik kegaduhan ini semua []
Sangat mirip dengan pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa, isu Islam Nusantara ini pun membuat umat kembali terjebak dalam hiruk-pikuk yang membingungkan. Hiruk pikuk yang sebenarnya tidak perlu, bahkan kontraproduktif! Mengapa?
Dari penyebab kemunculannya, kita patut bertanya, mengapa tiba-tiba kembali dimunculkan istilah yang mengkotak-kotakkan Islam dalam sekat Nusantara maupun lainnya? Kalau penyebabnya adalah perilaku sebagian kaum Muslimin yang dianggap meresahkan, mengapa harus menyoal Islam-nya?
Bila kita gundah dengan sekelompok massa berjubah yang melakukan tindakan semena-mena atas nama nahi munkar, kritik saja dengan adab-adab nahi munkar yang sudah diatur oleh Islam. Pun juga kita gusar dengan berbagai kejadian di Timteng yang mengatasnamakan Islam, mari kaji dalil Islam yang dianggap membenarkannya.
Bila kita resah dengan takfir (pengkafiran), tabdi’ (pembid’ahan) dan tasyrik (pemusyrikan), solusinya pun sederhana. Biarkan para alim ulama duduk untuk menjadikan ilmu sebagai hakim atas semua persoalan yang diperdebatkan. Toh, apapun masalahnya, Islam dengan segenap disiplin ilmu yang dikandungnya telah menyediakan jawabannya.
Ilmu Ushul Fikih, misalnya, telah memberikan panduan bagaimana mengimplementasikan syariat Islam yang luwes namun tidak sesat nilai. Pengakuan akan kebiasaan sebuah masyarakat, misalnya, diakui dengan istilah Al-‘Urf.
Selama sebuah tradisi tidak bertabrakan dengan kaidah-kaidah Islam, sah untuk dijalankan. Namun ketika bertentangan, di situlah Islam sebagai agama didahulukan atas tradisi dan budaya. Maka, penjelasan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Ya’qub dalam hal ini cukup pendek, tapi menjawab tuntas: “Islam itu agama. Nusantara itu budaya.”
Penjelasan Ulama NU tersebut membuktikan bahwa semua masalah dalam Islam, solusinya adalah ilmu. Ini sekaligus menambah keprihatinan kita, betapa di akhir zaman ini banyak pihak begitu mudah berbicara tentang Islam padahal tidak punya kompetensi ilmu Islam.
Munculnya Islam Nusantara juga menimbulkan sebuah pertanyaan mendasar, seperti apa bentuknya. Sebab, mengacu kepada istilah Nusantara berarti tidak terbatas hanya pada Jawa. Tak salah bila kemudian muncul kecurigaan adanya dominasi Jawa dalam praktek keislaman.
Pun ketika Islam Nusantara melampaui sampai pada batas menolak Arabisasi, tentu saja kita patut tertawa sekaligus waspada. Tertawa, karena geli melihat sekelompok orang yang sok tahu, menganggap Islam seratus prosen adalah Arab. Waspada, jangan-jangan ada penumpang gelap di balik kegaduhan ini semua []
Post A Comment:
0 comments: