2018
akarta – Dewan Mustasyar PWNU Jawa Tengah, Habib Syeikh bin Abdul Qodir Assegaf menolak namanya dicatut dalam jargon ‘Islam Nusantara’ yang menjadi tema Muktamar NU ke-33 di Jombang.

“Saya tetap dalam pendirian saya tidak berubah. Gambar itu bukan panitia yang buat. Kurang tahu siapa yang buat. Terimakasih sekali masukannya. Jazakallohukhoir,” ujar pimpinan Majelis Sholawat ‘Ahbabul Musthofa’ seperti dikutip dari laman NUGarisLurus.Com, Rabu (15/07).

Foto Habib Syeikh disandingkan dengan jargon "Islam Nusantara".

Sebagaimana diketahui, Habib Syeikh menolak istilah ‘Islam Nusantara’ jika itu dimaksudkan untuk menolak Syariat dan membenci Arab dengan alasan budaya.

Menurutnya, kecintaan kepada Nabi Muhammad dan Islam, dikikis perlahan mulai melalui kampanye anti arab dan mengganggap segala sesuatu yang ada dalam Islam adalah budaya Arab, sehingga perintah dari Allah pun dianggap tradisi Arab. “Ini tradisi Arab, ini Tradisi Nusantara”, begitu dalam prakteknya.

Terakhir, Habib Syeikh mendoakan supaya umat Islam selamat dari perpecahan karena istilah-istilah yang dilontarkan oleh sebagian golongan demi kepentingan politik dan kelompok mereka.

“Semoga Umat Islam selamat tidak di petak-petak dengan kepentingan politik dan golongan dan dari orang-orang Islam yang akan menghancurkan Islam itu sendiri,” tutupnya.
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siraj menyatakan bahwa Islam Nusantara bukan madzhab baru. Islam jenis ini, menurutnya tidak melanggar syara‘ (syariat -red).

“Isalm Nusantara sama sekali bukan madzhab baru, bukan firqah baru, bukan aliran baru,” kata Said dalam acara pembukaan Muktamar ke-33 NU di Jombang, Sabtu malam (01/08).

Menurutnya Islam Nusantara adalah khosois wa mumayyizat. Dia menambahkan bahwa Islam jenis ini menjadi ciri khas islamnya orang-orang Nusantara.

Islam Nusantara, lanjut Said, adalah laku Islam yang melekat dengan budaya Nusantara. “Yang sesuai dengan panduan syara’,” imbuhnya.

Said menambahkan bahwa segala adat istiadat, tradisi dan kearifan yang tidak melanggar batas-batas syara’ diperbolehkan. Menurutnya, hal itu justru harus digunakan untuk dakwah Islam.

Dengan memadukannya dengan tradisi, maka akan lahir Islam yang berperadaban, islam yang santun, dan islam yang mengedepankan akal sehat. Selain juga akan membuat pemeluknya mencintai tanah air Indonesia, secara lahir dan batin.

Said menganggap bahwa Islam Nusantara merupakan warisan para auliya. Terutama warisan dari para wali songo.

Islam Nusantara menjadi tema besar dalam Muktamar ke-33 NU di Jombang kali ini. Bahkan, wacana Islam Nusantara telah didengungkan jauh-jauh hari sebelum muktamar.



Namun wacana Islam Nusantara yang muncul sebelum muktamar justru memicu kontoversi. Islam jenis ini dianggap banyak pihak akan mengkotak-kotak dan memisahkan Islam Indonesia dengan wilayah lainnya.

 Reporter: Imam Suroso

Editor: Hunef Ibrahim
Islam Nusantara ternyata menimbulkan kebingungan tersendiri bagi kalangan NU di tingkat bawah. Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU Dr Abdul Moqsith Ghazali menyatakan bahwa sebenarnya konsep Islam Nusantara belum selesai.

Dalam sebuah acara bertajuk “Ngaji Islam Nusantara, Membumikan Islam: Nusantara Persembahan ISNU untuk Bangsa dan Negara” yang digelar Ikatan Santru NU (ISNU) di Gedung Dakwah Purwakarta Ahad (06/12), seorang perserta dari Muslimat NU curhat soal Islam Nusantara. Di acara yang dihadiri Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU Dr Abdul Moqsith Ghazali dan Rais Suriyah PBNU Purwakarta KH Abun Bunyamin itu, dia mengaku kebingungan menjawab pertanyaan masyarakat soal gagasan yang diusung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu. Pasalnya, orang-orang menganggap konsep itu bakal menyelisihi agama Islam sendiri.

Menanggapi keluhan itu, Abdul Moqsith Ghazali menyatakan bahwa akidah Islam Nusantara masih sama dengan ormas-ormas Islam yang lain. Dia menyebut bahwa jika Islam Nusantara ingin mengubah Al-Qur’an dengan bahasa Indonesia sebagai fitnah.

Menurutnya, Islam Nusantara adalah Islam yang mengakomodir budaya. Dia menyontohkan bahwa adanya bermacam-macam shalawat merupakan bagian dari budaya. Termasuk juga berjenggot, yang menurutnya soal kepantasan. “Kita ini pendek, jadi tidak pantas pakai jenggot panjang,” ujarnya.

Saat ditemui Kiblat.net seusai acara, Moqsith mengatakan bahwa curhatan peserta tersebut sebagai sesuatu yang wajar. “Islam Nusantara per konsep kan sebenarnya belum selesai, baru dirancang oleh Lembaga Bahtsul Masail,” ujarnya.

 Karenanya, lanjut Moqsith, masih mungkin terjadi keragaman pandangan mengenai Islam Nusantara. Dia juga menilai wajar jika ditingkat bawah ada sebagian yang tidak mengerti.

“Apakah Islam Nusnatara ingin mengubah bacaan shalat yang bebahasa Arab menjadi bahasa Indonesia, kan ternyata tidak,” tukasnya.

“Qurannya masih Quran yang sama, kira-kira begitu,” pungkasnya.



Reporter : Imam S.
Editor: M. Rudy
Deislamisasi adalah program Zionis internasional untuk menghancurkan Islam, baik di dunia maupun di Indonesia. Program deislamisasi pun banyak bentuknya, bahkan tanpa disadari menjadi program Pemerintah Indonesia.

Islam Nusantara dan Program Keluarga Berencana juga dinilai menjadi bagian dari deislamisasi yang digulirkan Zionis Internasional.

Hal itu dikatakan oleh tokoh nasional, Abdullah Hehamahua, mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2005-2013, dalam Kajian Jumatan Fiqh Sisosial bertema “Deislamisasi, Akankah Berulang? Catatan Seputar Pilkada DKI” di Masjid Al Furqon, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Jl. Kramat Raya 45, Senen Jakarta Pusat, Jumat malam (10/02).

“Salah satu target deislamisasi adalah menjauhkan umat Islam dari aqidahnya. Karena itu digulirkan slogan seperti pluralisme dan ada Islam Nusantara,” ungkapnya, Jumat.

Islam Nusantara berpendapat bahwa siapa pun yang memberi banyak manfaat akan masuk surga. Padahal sebenarnya hanya pemeluk agama Islam lah yang berhak masuk Surga. Pemahaman seperti Ini lah yang menjauhkan umat Islam dari aqidahnya yang terpenting,” lanjutnya.

Sedangkan program pemerintah membatasi populasi dengan menggulirkan program Keluarga Berencana (KB), menurutnya termasuk dari bagian deislamisasi. Karena, dari KB itu ditanamkan pemahaman bahwa memperoleh keturunan mutlak kehendak wanita.

“Tergantung istri lah anak itu bisa hadir, jika tidak mau maka tidak hadir, dengan cara minum obat lah, atau dengan operasi. Padahal Allah lah yang menghendaki hal itu terjadi atau tidak,” ungkapnya.

 Menurutnya, program KB juga untuk melemahkan umat Islam. Saat ini, jelasnya, populasi umat Islam hanya 85% sedangkan saat Indonesia merdeka populasi umat Islam mencapai 99%.

“Sekarang yang 85% saja mereka (musuh) sudah berani menginjak-injak umat Islam, bagaimana nanti ketika 2050, mungkin kita hanya 50% sedangkan setengahnya adalah umat Kristiani atau non Islam lainnya, jangan sampai itu terjadi dan kita diremehkan lagi,.!” pungkasnya.

Reporter: Muhammad Jundii
Editor: Hunef Ibrahim
Bukan sesuatu yang kebetulan bila istilah ‘Islam Nusantara’ dipropagandakan secara masif oleh Presiden Jokowi dengan melibatkan salah satu ormas berbasis massa. Tak ketinggalan, Kementerian Agama sebagai menteri penanggung jawab urusan agama pun turut serta.

Kontroversi dimulai ketika bacaan Al-Quran menggunakan langgam Jawa hingga advokasi secara intens kelompok-kelompok minoritas seperti Ahmadiyah, Syiah, Baha’i dan lain sebagainya. Ada dugaan ini merupakan skenario besar yang menjadi grand design AS dan barat yang ikut mengintervensi berbagai negara termasuk Indonesia melalui isu-isu HAM dan Pluralitas.

Nampaknya, Islam Nusantara dimunculkan bukan sebagai sebuah rumusan intelektual yang secara jujur, obyektif, dan digali dari akar sejarah Indonesia an sich. Melainkan juga menjadi argumentasi wacana intelektual kering narasi, yang dikembangkan berdasarkan pesanan AS dan barat.

Wacana ini melibatkan pemerintahan Jokowi beserta kabinetnya dan salah satu ormas Islam besar sebagai propagandisnya. Sebuah grand design untuk mengendalikan peta konstelasi politik internasional. Terutama memosisikan Indonesia sebagai negara muslim terbesar bernilai strategis secara politik, geografis, ekonomi, kultur dan sosial.

Presiden Jokowi melontarkan gagasan Islam Nusantara pada saat Istighosah bersama ormas NU di Masjid Istiqlal, Ahad, (14/06).
Presiden Jokowi melontarkan gagasan Islam Nusantara pada saat Istighosah bersama ormas NU di Masjid Istiqlal, Ahad, (14/06).

Sepak terjang Jokowi sebagai RI 1 mulai dari sebelum pilpres, pilpres hingga menjadi presiden, seperti cukup membuktikan keterlibatannya sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang banyak memfasilitasi kepentingan Asing dan Aseng. Di antaranya AS, Eropa, China dan Jepang.

Bukan saja untuk agenda politik dan ekonomi yang tercermin dari kebijakan-kebijakannya yang lebih mengokohkan cengkeraman Asing dan Aseng. Melainkan juga agenda-agenda agama untuk memastikan jalan lapang dan aman kepentingan ekonomi politiknya tidak terkendala.

Islam Nusantara adalah sebuah rekayasa sosial kultural untuk membangun paradigma berpikir kaum muslimin di Indonesia agar tidak sensitif terhadap penjajahan Asing dan Aseng melalui para penguasa anteknya. Berkolaborasi dengan para pemimpin ormas Islam yang mau dibayar. Ini menjadi sebuah strategi politik integral dan komprehensif untuk menancapkan kepentingan neoliberalisme dan neoimperialisme di satu sisi.

Kepentingan tersebut menyapu bersih setiap ancaman yang berpotensi menggagalkannya di sisi yang lain. Dengan menggunakan strategi soft power maupun hard power. Soft power dalam bentuk membangun cara berpikir tertentu sehingga lahirlah pemikiran dan perasaan masyarakat yang tidak lagi kritis dan reaktif terhadap kepentingan Asing dan Aseng yang terimplementasi dalam beragam bentuk kebijakan.

Sementara, strategi hard power digunakan dengan cara penegakkan hukum melalui jerat hukum atau pendekatan keamanan menggunakan perundang-undangan. Dengan menggunakan kerangka perundang-undangan yang bersifat pro asing dan menikam rakyat.

Rezim Antek

Terlalu banyak contoh dan dengan penjelasan berulang-ulang untuk bisa menyatakan bahwa rezim Jokowi benar-benar sebagai rezim antek. Meski sebagian kalangan berpendapat sebagai sebuah keniscayaan dalam kaitan hubungan internasional.

Salah satu contoh nyatanya adalah tetap diteruskannya pelaksanaan dari penanda tanganan Indonesia terhadap AFTA (Asian Free Trade Agreement) yang akan diterapkan secara mutlak pada 1 Januari 2016 di tengah ketidak berdayaan politik, ekonomi, budaya dan sosial bangsa dengan mayoritas muslim terbesar di dunia ini.

Sebuah agreement yang meniscayakan Indonesia dengan kekayaan alam dan potensi pasar besar dengan populasi sekitar 250 juta siap menjadi obyek menarik untuk dieksplorasi dan dieksploitasi. Bukti ketidak siapan dan ketidak berdayaan itu diantaranya penyiapan pemenuhan hak sertifikasi profesi sebagai bentuk peningkatan kompetensi warga negara Indonesia di tengah persaingan tenaga kerja asing yang belum optimal.

Di bawah kementerian komunikasi dan informatika saja hanya ada 2 buah lembaga sertifikasi profesi di bawah Badan Nasional Sertifikasi Profesi yang siap memfasilitasi sertifikasi profesi melalui uji kompetensi. Di antaranya LSP Telematika Surabaya. Sementara terdapat jutaan tenaga kerja dari berbagai latar belakang profesi di berbagai kementrian yang belum tersertifikasi profesi. Di tengah implementasi UU Tenaga Kerja yang mengharuskan semua dunia usaha dan dunia kerja harus tersertifikasi profesi.


Dokumen berbahasa Inggris dan sebagian terjemahan bahasa Indonesianya tersebar di jejaring sosial itu jelas menunjukkan bahwa Jokowi telah didukung dengan dana besar-besaran. Dalam penggalan dokumen tersebut antara lain disebutkan sebagai berikut :

Pertama, Amerika Serikat memberikan berbagai program bantuan kepada Indonesia di area-area seperti pendidikan, lingkungan, keadilan terhadap kejahatan dan anti-korupsi, anti terorisme, pendidikan dan pelatihan militer, serta demokrasi dan pemerintahan. Saluran utama bantuan ini adalah Departemen Luar Negeri, Badan Pengembangan Internasional A.S (USAID), Millennium Challenge Corporation (MCC), dan Korps Perdamaian.

Kedua, Sebagai contoh, Indonesia Compact dari MCC adalah program lima tahun senilai $600 juta yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dan mengembangkan pertumbuhan ekonomi secara lebih luas.

Ketiga, Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah A.S. telah mengalihkan dukungan USAID ke berbagai program yang diberikan atau dilakukan secara langsung oleh berbagai organisasi serta badan di Indonesia, yang menyertakan masyarakat sipil serta bisnis setempat.

Keempat, Dalam Anggaran FY2016-nya, Departemen Luar Negeri menyebut Indonesia sebagai kemungkinan negara fokus dalam program Anti Ekstremisme Kekerasan.

Kelima, Indonesia juga disebut secara sama dalam Anggaran FY2015 Luar Negeri. Program pendanaan A.S. spesifik lainnya termasuk Pengendalian Narkotika dan Penegakan Hukum Internasional, Kesehatan Global, Pendidikan dan Pelatihan Militer Internasional, serta Badan Perdagangan dan Pembangunan A.S..

Selain mendokumentasikan kebijakan bantuan AS secara all out terhadap Indonesia, dokumen itu juga menyebut rekomendasi dari Komisi A.S. mengenai Kebebasan Beragama Internasional (USCIRF), sebuah Komisi yang diciptakan oleh Kongres Amerika ini merupakan badan penasihat pemerintah A.S yang independen dan bipartisan, yang memantau kebebasan beragama di seluruh dunia dan mengajukan berbagai rekomendasi kebijakan ke Presiden, Menteri Luar Negeri, serta Kongres. Rekomendasi terhadap pemerintah AS tersebut antara lain :

· Mendorong Presiden Jokowi dan Menteri Lukman untuk memenuhi komitmen mereka dalam mengintroduksi undang-undang baru yang melindungi kaum agama minoritas, dan menawarkan bantuan teknis bila dibutuhkan;

· Membuat kelompok kerja bilateral spesifik dalam pertemuan Kemitraan Komprehensif dengan Indonesia, untuk membicarakan hak asasi manusia, kebebasan beragama, dan masalah peraturan hukum, serta menetapkan tindakan konkret untuk menangani semua ini; Mengangkat kebutuhan untuk melindungi tradisi toleransi beragama dan pluralisme Indonesia bersama para pejabat Indonesia, dengan menangkap dan menghukum para individu yang menarget kelompok agama dengan tindakan diskriminasi dan kekerasan;

· Mendesak pemerintah Indonesia di tingkat pusat, provinsi, dan setempat, untuk menaati konstitusi Indonesia dan standar internasional dengan membatalkan Keputusan Kementerian Bersama mengenai komunitas Ahmadiyya dan semua larangan di tingkat provinsi terhadap praktik keagamaan Ahmadiyyah, mengubah atau membatalkan Pasal 156(a) dari Hukum Pidana, serta membebaskan semua yang dihukum atas dasar “penyimpangan,” “merendahkan agama,” atau “penghujatan;” serta mengubah Keputusan Kementerian Bersama No. 1/2006 (Peraturan Pembangunan Rumah Ibadah) agar memberi hak bagi kaum agama minoritas untuk membangun dan memelihara rumah ibadah mereka;

· Memprioritaskan pendanaan bagi program pemerintahan, masyarakat sipil, dan media yang mendukung kebebasan beragama, anti ekstremisme, membangun persekutuan antar kepercayaan, memperluas kemampuan pelaporan bagi para pembela hak asasi manusia, melatih para pejabat pemerintahan dan agama untuk melakukan mediasi perselisihan antar golongan, dan membangun kapasitas bagi advokat reformasi hukum, pejabat yudisial dan parlemen, agar dapat memenuhi kewajiban Indonesia secara lebih baik di bawah hukum hak asasi manusia internasional; dan

· Membantu pelatihan polisi Indonesia dan petugas anti terorisme di semua tingkat, agar dapat lebih baik menangani konflik antar agama, kekerasan serta terorisme yang berkaitan dengan agama, termasuk kekerasan terhadap tempat ibadah, melalui praktik yang konsisten dengan standar hak asasi manusia internasional, dan secara bersamaan memastikan bahwa para petugas tersebut tidak terlibat dalam penyalahgunaan hak asasi manusia di masa lalu berdasarkan prosedur pemeriksaan Amendemen Leahy.

Sokongan pemerintah AS terhadap pemerintahan Jokowi pemimpin negeri mayoritas muslim terbesar dunia tersebut menggelitik sebuah pertanyaan besar tentang kaitan antara propaganda intens Islam Nusantara dengan kepentingan Asing yang berada di belakangnya. Karena tidak mungkin ada gelombang gerakan nasional tertentu jika tidak ada maksud terselubung di baliknya. Saatnya kaum muslimin memiliki kesadaran dan kepekaan tentang masa depan nasib yang dialaminya. Wallahu a’alam bis showab.
Oleh : Adil Nugroho (Pemerhati Sosial Politik)
Peneliti Budaya Jawa, Susiyanto, menilai istilah Islam Nusantara belum jelas secara definisi dan terdapat perbedaan yang jelas dengan dakwah para wali.

“Kalau dari segi definisi, Islam Nusantara itu kan sebenarnya belum jelas definisinya seperti apa,” kata Susiyanto saat dihubungi Kiblat.net, beberapa waktu lalu.

Susiyanto menambahkan bahwa saat ini banyak sekali tafsiran tentang istilah Islam Nusantara sendiri. Penafsiran-penafsiran tersebut masih simpang siur, tergantung pemikiran orang-orang yang berpendapat tentangnya.

Setelah sempat ramai diperbincangkan bersamaan dengan munculnya bacaan Al-Quran langgam jawa di Istana Negara, istilah Islam Nusantara kembali digaungkan dalam pembukaan Munas Alim-Ulama NU di Masjid Istiqlal, Ahad (14/06).

Bahkan dalam kesempatan tersebut Presiden Jokowi juga menyuarakan istilah yang sama dengan menyatakan “Islam kita adalah Islam Nusantara, Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh tata krama.”

Dalam kampanyenya, orang-orang yang mengusung istilah Islam Nusantara sendiri selalu mengaitkan dengan sepak terjang Wali Songo dalam mensyiarkan Islam. Semangat dakwah para wali itulah yang kemudian seolah-olah mendorong kemunculan Islam Nusantara.

Menanggapi hal itu Susiyanto menilai bahwa ada perbedaan antara Islam Nusantara dengan dakwah para wali. Menurutnya, pada masanya Wali Songo tidak menginginkan Islam Nusantara sebagai target dakwah mereka.

“Tapi mereka itu sedang melakukan proses pengislaman Nusantara. Jadi, saya melihat ini dua hal yang berbeda,” tandasnya.

 

Reporter : Imam S.

Editor: Fajar Shadiq
Bak kelinci percobaan, umat Islam di Indonesia tampaknya tak pernah selesai diuji dengan wacana-wacana baru. Meskipun ide dasarnya merupakan pengulangan dari wacana yang telah usang, namun ide ini terus dikampanyekan secara massif. Kini, ide itu bernama Islam Nusantara.

Hanya saja kali ini, wacana Islam Nusantara dipikulkan kepada ormas Islam yang memiliki pengaruh cukup luas di tengah masyarakat Indonesia. Tak ketinggalan para pejabat terkait urusan agama hingga Presiden turut meramaikannya.

Kiblat.net berupaya mengumpulkan pendapat para tokoh terkait ide Islam Nusantara. Salah satunya adalah aktivis muda Muhammadiyah, Mustofa Nahrawardaya. Berikut petikan wawancara Kiblat.net pada Rabu, (17/06) di bilangan Jakarta.

Akhir-akhir ini kita melihat media-media dan di beberapa kampus mulai sering digelorakan kampanye Islam Nusantara apakah memang ada agenda terselubung atau memang sekadar kebetulan saja?

Jadi ini adalah bagian dari upaya untuk membangun opini terkait dengan upaya-upaya seluruh dunia untuk menjauhi Islam, yang seolah-olah Islam itu digambarkan seperti yang terjadi di Timur tengah. Yaitu dengan membentuk seolah-olah ini (Islam Nusantara, red) adalah sebuah solusi Islam yang tepat, tidak seperti yang ada di Timur tengah.

Kalau di Indonesia namanya sekarang diusulkan Islam Nusantara. seolah-olah ide ini solusi yang terbaik bagi Islam seluruh dunia. Disuruh menyontoh, ini lho Islam nusantara. Dugaan saya mereka inginnya seperti itu. Jadi kalau mau mencontoh Islam yang baik, itu adalah Islam nusantara yang ada di Indonesia, itu secara umum.

Tapi secara khusus, ini kan ada huruf ‘nu’. Itu di pas-paskan. Kan bisa saja Islam Indonesia juga bisa. Kenapa tidak Islam Indonesia? Kenapa Islam Nusantara, karena di situ inisiatornya adalah berasal dari organisasi yang ada huruf ‘nu’, maka dinamakanlah Islam Nusantara.

Lazimnya, kalau tidak mau dikait-kaitkan dengan nama organisasi tentu lebih tepat adalah Islam Indonesia. kan begitu, jadi bukan Islam Nusantara lagi.

Kalau boleh berkelakar, apa usulan Anda?

Kalau saya boleh usul, misalkan saya dimintai pertimbangan lebih bagus nama apa, saya usulkan Islam Indonesia. Itu pun kalau saya setuju. Persoalannya kan saya tidak setuju. Saya tidak setuju pembentukan Islam Nusantara karena prinsip Islam itu adalah Islamlah yang mewarnai Indonesia atau mewarnai nusantara, bukan kebalikannya nusantara yang mewarnai Islam.

Apa perbedaannya?

Berbeda dong. ini seperti spare part mobil. kita kalu butuh spare part Honda ya kita ke Jepang. Kita butuh spare part VW kita ke Jerman. Kita butuh spare part GMC kita ke Amerika, dan seterusnya. Itu adalah model-modelnya. Jadi kita itu memiliki acuan-acuan, sumber-sumber. Yang namanya agama Islam itu lahir di Arab untuk seluruh dunia, rahmatan lil ‘alamin.

Kalau begitu, Islam Nusantara itu tidak bisa rahmatan lil alamin karena orang harus meniru cara Indonesia, seperti orang Indonesia. Mestinya Islam di Indonesia pun cocok untuk Islam yang lain, namanya universal kan.

Dengan demikian ini kan terkesan mengkotak-kotakkan, bahwa Islam itu tidak sama di seluruh dunia. Padahal nilai-nilai Islam dengan perilaku itu berbeda. Misalkan perilaku orang Islam di suatu negara.

Ini perilaku ya, berbeda dengan nilai. Nilai itu harusnya sama. Kita tidak boleh kemudian membohongi diri sendiri, seolah-olah kita itu menyesal telah memiliki agama bernama Islam, kemudian tidak cocok dengan kultur orang Indonesia. Kita tidak boleh seperti itu.

Faktanya adalah Islam terlahir di sana, tetapi untuk seluruh alam, rahmatan lil alamin, untuk semua manusia generasi mana pun. Islam adalah agama terakhir dan sudah ditulis dalam nash sebagai yang paling sempurna, tidak ada yang lebih sempurna dari itu. Itu yang pertama.

Yang kedua, tentu ide ini sangat janggal karena saya lihat pengusung ide Islam Nusantara itu justru dari orang yang memiliki kelompok yang memelihara “tradisi Arab”. yang suka bershalawatan rame-rame.

Itu bukan tradisi Islam Indonesia?

Bukan tradisi kita lah. Yang suka berzikir ramai-ramai, istighosah.. Lho ini mereka meniru gaya-gaya mana coba? Bahasanya, hurufnya, ini kan dari Al-Quran yang lahir di Arab. Kenapa zikirnya istighosahnya atau salawatannya tidak pakai bahasa Jawa? Ini kan berasal dari kelompok yang justru memelihara tradisi atau kebiasaan Arab, kemudian malah mengusulkan Islam yang hanya cocok untuk Indonesia. Tentu ini berbenturan.

Menurut saya ini tidak cocok dan janggal, jangan-jangan usulan ini adalah hanya untuk menggalang opini akan adanya even-even besar yang mereka miliki.

Ada indikasi ke arah situ?

Namanya penggalangan opini. Manajemen isu itu adalah sesuatu yang lazim dalam even-even tertentu yang dimiliki oleh organisasi. misalkan organisasi A mau mengadakan Munas, maka supaya masyarakat ikut terlibat secara emosional dengan Munas itu dibikinlah teaser-teaser, tahapan-tahapan opini, isu-isu supaya masyarakat ikut terlibat di dalam keinginan, visi misi tertentu. Nah tentu ini adalah sebagai bagian opini manajemen isu.

Jadi karena ini bertolak belakang dengan kultur lingkungan mereka, golongan mereka yang sesungguhnya memelihara tradisi-tradisi Arabic, ini tentu tidak pas, tidak klop. Mestinya yang mengusung Islam Nusantara itu adalah kelompok yang minim sekali mereka memelihara tradisi-tradisi kearaban.

Ada yang mengatakan konsep Islam Nusantara ini untuk melawan Arabisasi yang seolah-olah digembar-gemborkan sebagai ideologi transnasional?

Untuk level besarnya begini, nanti ide Islam Nusantara ini akan berbahaya misalkan nanti ada Islam Nusantara, ada Islam Malaysia, ada Islam Brunei, itu yang besar, makronya.

Yang lebih rumit lagi, ada Islam Medan, Islam Surabaya, Islam Jogja, Islam Kediri, Islam Madura. Lebih kecil lagi ada Islam Kecamatan A, kecamatan B. Lho ini kan ngeri paham yang seperti ini. Padahal Islam itu ya satu. Ini adalah prinsip. Islam itu satu.

Nah yang memungkinkan adalah mengIslamkan orang Jawa, mengIslamkan orang Medan, mengIslamkan orang Malaysia. Bukan sebaliknya memadurakan Islam, menjawakan Islam, memedankan Islam. Islam itu tidak bisa diubah. Islam itu sudah sangat sempurna, tidak mungkin dia diubah, dimodifikasi tidak mungkin.

Tapi soal perilaku beda lagi. Nilai-nilai Islam itu sama persis, tidak bisa diubah dan itu cocok dengan semua orang jika semua orang mengerti. Tapi persoalannya kan tidak semua orang paham. Nah, sekarang rahmatan lil alamin kadang-kadang disesatkan artinya.

Beberapa lembaga, misalkan saya lihat sekarang, BNPT misalkan atau pejabat-pejabat itu mengartikan rahmatan lilalaamin dalam perspektif yang sempit. Seolah-olah rahmatan lil alamin karena cocok untuk semua negara, kemudian setiap negara itu boleh memodifikasi Islam itu sendiri. Karena cocok kemudian boleh memodifikasi sendiri.

Ini seolah-olah Islam Indonesia itu ya seperti ini. Kalau pengajian pakai jilbab, kalau tidak pengajian perempuannya tidak usah pakai jilbab. Kemudian berbuat baik itu selama Ramadhan saja, kemudian situasi nuansa keIslaman itu kalau bulan-bulan yang suci saja atau hari-hari yang berkaitan dengan perayaan Islam saja, selain itu tidak perlu. Kita kembali ke budaya masing-masing.

Padahal, Islam datang itu kan untuk memperbaiki budaya seluruh dunia, bukan sebaliknya. jadi ketika Arab rusak, begitu ada Islam jadi baik. Indonesia mestinya sama, Indonesia rusak ada Islam jadi baik. Jangan dipelintir-pelintir dong, seolah-olah Islam tidak cocok. Indonesia jadi rusak karena Islam. Tidak begitu, ini manusianya.

Banyak sekali kadang dia beragama tapi tidak paham kitab sucinya, sehingga nilai yang diangkat adalah bukan nilai agama itu tapi nilai budaya yang dicampur dengan agamanya, lalu disebut abangan. Itu yang terjadi


Bak kelinci percobaan, umat Islam di Indonesia tampaknya tak pernah selesai diuji dengan wacana-wacana baru. Meskipun ide dasarnya merupakan pengulangan dari wacana yang telah usang, namun ide ini terus dikampanyekan secara massif. Kini, ide itu bernama Islam Nusantara.

Hanya saja kali ini, wacana Islam Nusantara dipikulkan kepada ormas Islam yang memiliki pengaruh cukup luas di tengah masyarakat Indonesia. Tak ketinggalan para pejabat terkait urusan agama hingga Presiden turut meramaikannya.

Kiblat.net berupaya mengumpulkan pendapat para tokoh terkait ide Islam Nusantara. Salah satunya adalah aktivis muda Muhammadiyah, Mustofa Nahrawardaya. Berikut petikan wawancara Kiblat.net pada Rabu, (17/06) di bilangan Jakarta. Simak wawancara sebelumnya..

Ada beberapa kelompok yang sepertinya menjadi penumpang gelap dalam isu ini karena ada arahan Islam Nusantara ini ya Islam yang bukan Arab. Apa tanggapan Anda?

Ya memang Islam itu bukan Arab, maksudnya Islam itu bukan orang Arab. Makanya saya bilang Islam itu satu, ya Islam. orang Arab itu perilaku, berbeda. Tapi lahirnya Islam itu ada di Arab. Jadi Islam itu bukan Islam Arab, bukan Islam Indonesia. Orang Arab yang non-muslim juga banyak. Jadi kalau ada yang bilang Islam Arab salah besar, Islam itu ya Islam.

Tapi perkara orang Arab berperilaku tidak Islam, karena ini perilaku, dan nilai-nilai Islam itu untuk seluruh dunia, tidak mungkin kemudian kita bilang IslamArab-Islam nonArab, tidak ada. Islam itu ya Islam.

Nah kemudian, kenapa orang liberal dan lain sebagainya ini seolah-olah menumpang, itu karena mereka ingin mencari solusi agar kepentingan semua agama itu tidak berbenturan. Maka dibuatkan sebuah tag line seolah-olah semua agama itu sama, jadi semua agama itu benar. Itu kan yang mau mereka bangun sehingga orang tidak berkelahi karena adanya agama-agama.

Yang tidak mereka ketahui adalah agama itu hanya satu dan itu yang terakhir dan pasti paling sempurna. Bagaikan pabrik mobil, pabrik yang paling baik itu pasti produksi terakhir yang paling baik karena dia paling sempurna belajar dari kesalahan produksi sebelumnya. Ini sama dengan agama juga, Islam adalah terakhir, nabinya terakhir dan tidak ada yang berdiri setelah itu, tidak ada nabi setelahnya. Laa nabiyya ba’dah. Jadi setelah itu tidak ada lagi. Tidak ada agama baru, agama Islam terakhir nabinya terakhir, semua harus taat pada agama ini.

Karena tidak taat, tidak mengerti tentang agama ini maka dia mencoba untuk membangun kembali seolah-olah agama yang lampau, agama yang sudah diubah-ubah olah manusia itu seolah-olah agama yang masih benar. Padahal agama istilah ahli kitab dan sebagainya sudah tidak ada lagi. Agama nasrani, kristen katolik, konghucu ini adalah agama bikinan manusia, berdasarkan pernah ada kitab suci yang dia pegang tapi dia ubah-ubah sesuai zaman.

Maka tidak ada kitab suci yang lebih sempurna dari Al-Quran, yang bisa menjawab semua tantangan kecuali Al-Quran. Kalau anda mempelajari Al-Quran, tidak akan anda temui kedetailan Al-Quran itu dibanding kitab suci yang lain. Karena memang Al-Quran jadi kitab yang terakhir.

Kaum liberal ini mungkin saja diuntungkan dengan ide ini, tapi dalam prisip Islam ini tentu tidak benar. Karena mereka, saya yakin tidak memahami Al-Quran apa yang dimaksud dengan firman Allah SWT bahwa Islam sempurna, dan tidak ada yang lebih dari Islam dan tidak ada agama setelahnya, tidak ada nabi setelah muhammad, tidak da lagi yang lebih sempurna dari muhammad akhirnya kita harus percaya dan yakin bahwa satu-satunya agama yang benar adalah Islam.

Dahulu pernah ada istilah serupa dengan Islam Nusantara, yaitu Aktualisasi Al-Quran, bagaimana prediksi anda bisakah ide Islam Nusantara ini diterima oleh masyarakat?

Jadi ide itu boleh banyak, orang boleh membuat ide-ide baru. Tapi saya yakin tidak akan bertahan lama. Setiap zaman itu pasti ada orang yang memiliki ide-ide miring. Ide yang tidak sama. Seolah-olah unik, mereka pasti akan merasa seolah-olah ini ide baru. Tapi tidak akan pernah awet dan tidak akan pernah diterima masyarakat karena akhirnya masyarakat akan belajar dari kesalahan.

Misalkan kelompoknya Ulil mau berusaha kenapa kelompoknya itu-itu saja. Tidak berubah dan orangnya itu-itu saja. Masyarakat biasanya akan menolak setelah sadar.

Dan generasi antar generasi itu semuanya tidak mungkin akan mengikuti jalan yang sama. Misalnya begini, sekarang mungkin orang dalam satu keluarga anaknya tergoda dengan ide liberalisme, tapi nanti saat keluarga itu semuanya tentu tidak akan mengikuti dia. Dia akan belajar dari kesalahan-kesalahan saudaranya, akan seperti itu.

Begitu juga dengan kelompok-kelompok, mungkin ada kelompok yang mendukung liberalisme agama dan ormas tertentu yang seolah-olah mendukung ide-ide liberalisme agama. Tapi suatu saat generasi berikutnya dia akan memperbaiki. Secara organisasi ya, saya yakin (ide Islam Nusantara, red) ini pendapat pribadi, yang karena pribadi itu memiliki jabatan penting di situ, seolah-olah pendapat organisasi. Saya pikir tidak.

Menurut Anda ini pendapat pribadi yang dianggap sebagai pandangan organisasi?

Jadi bedakan antara pendapat pribadi dalam organisasi sebesar itu, dengan pendapat organisasi. Pendapat organisasi itu ditentukan oleh pleno, diputuskan dalam muktamar misalnya.

Ini hanya pendapat pribadi, kalau dalam organisasi misalnya Muhammadiyah, jarang sekali ada pendapat-pendapat yang kemudian rancu. Ini kan rancu sekali antara pendapat pribadi seorang ketua umum dengan lembaga yang dipimpinnya. Kalau sampai pendapat organisasi, korporasi, organisasi tertentu, tentu ini fatal. Karena masa sih pengurus yang segitu banyak mengelola organisasi Islam sebesar itu terjadi kesalahan kolektif. Tidak mungkin.

Saya pikir ini pendapat pribadi seseorang yang secara sadar memanfaatkan saja. Bukan menunggangi ya, tapi tadi dalam rangka penggalangan opini untuk tujuan-tujuan tertentu jangka pendek.  Anda tahulah untuk kepentingan apa. Mereka memiliki kegiatan terbesar apa dalam tahun ini, kita akan tahu lah. Jadi penggalangan opini untuk teasure pemanasan, nanti hilang juga itu. Tidak mungkin akan berlangsung lama, tidak akan permanen.

Artinya kita tidak perlu terlalu reaktif menanggapi wacana ini?

Tidak perlu, anggap saja itu angin lalu. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Tidak perlu dianggap serius-serius karena biasanya dari kelompok-kelompok itu pula yang sering mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang nyeleneh. Jadi ini dedengkotnya sudah tidak ada, sudah meninggal, tapi muridnya masih banyak.

Saya tidak perlu menyebut namanya. Ada yang jadi menteri ngomongnya juga ikut nyeleneh, ada yang jadi pengurus organisasi tertentu ngomongnya nyeleneh. Inilah murid-murid bekas dedengkot-dedengkot yang sudah meninggal pada waktu sebelumnya, tapi muridnya ini belum bisa move on. Jadi mereka masih ikut sesat-sesat sedikit, tapi suatu saat generasi berikutnya akan memperbaiki, itu yang akan terjadi.

Sejak dulu ada tokoh yang nyeleneh kemudian mati, muncul generasi berikutnya memperbaiki. Akan begitu terus. Dan inilah ibrohnya, kita bisa mengambil pelajaran. Kalau tidak ada begitu kita tidak akan mengerti.

Jadi Islam Nusantara ini muncul supaya kita tahu seperti apa Islam yang benar.
Munculnya wacana Islam Nusantara di tengah-tengah umat Islam Indonesia bersamaan dengan adanya penolakan atau sikap anti terhadap budaya Arab. Hal itu terjadi karena ada anggapan bahwa proses Islamisasi merupakan proses Arabisasi.

“Justru proses Islamisasi itu sebenarnya juga tidak sama dengan proses Arabisasi,” kata peneliti budaya Jawa, Susiyanto, M. Ag, Kamis (18/06).

Saat ini banyak kalangan akademisi terutama yang berasal dari kelompok liberal menganggap bahwa Islam adalah Arab, dan begitu juga sebaliknya. Susiyanto menilai bahwa Islam Nusantara yang kini diwacanakan seolah-olah menempatkan Islam yang ada di Nusantara terpisah dari sumbernya.

Selain itu istilah Islam Nusantara yang digelontorkan di dalam beberapa artikel yang tersebar di berbagai media massa seperti mencoba untuk memisah-misahkan umat Islam.

Kandidat Doktor Universitas Ibnu Khaldun ini menambahkan yang terlihat kemudian adalah wacana tersebut justru diarahkan untuk menyerang entitas Arab. Akibatnya yang muncul adalah pertanyaan apakah Islam Nusantara memang terpisah dengan Islam yang lain.

“Seolah-olah menafikkan bahwa umat Islam itu juga ada di Arab, juga ada di belahan dunia yang lain,” tandas pengamat sejarah Islam ini.



Reporter: Imam S.

Editor: Fajar Shadiq
Peneliti Budaya Jawa, Susiyanto, menilai munculnya wacana Islam Nusantara sebagai sebuah dinamika dan sesuatu yang wajar dalam diskursus pemikiran. Ketika ada pendapat seperti itu, wajar juga nantinya jika ada pendapat lain yang berlawanan.

“Jadi saya kira kalangan Muslim sendiri juga harus melakukan kritik,” ujar Susiyanto, kepada Kiblat.net belum lama ini.

Susiyanto menambahkan bahwa ada kelemahan dalam konsep Islam Nusantara sendiri. Istilah tersebut, menurutnya merupakan upaya untuk menjadikan Islam yang ada di Nusantara berbeda tingkatannya dari Islam yang lain.

“Kalau sekilas itu sebenarnya merupakan bentuk fanatisme, kalau tidak bisa disebut sebagai primoldialisme,” ujarnya.

Dengan demikian, lanjut Susiyanto, seolah-olah Islam di Nusantara berbeda dengan yang ada di wilayah lain. Akibat yang terjadi kemudian adalah umat Islam Nusantara akan renggang dengan yang lain.

Dia menambahkan, perbedaan yang ada seharusnya justru harus bisa dimengerti berbagai pihak. Yang harus dilakukan kemudian adalah mencari persamaan di dalam umat Islam sendiri, karena jika yang dicari perbedaaan, maka tidak akan pernah ada titik temunya.

“Kita kembali ke ilmu saja lah. Jadi misalnya kalau kita harus berbicara tentang Islam ya ilmunya itu seperti apa,” tandasnya.



Reporter: Imam Suroso

Editor: Hunef Ibrahim
 Wacana Islam Nusantara bergulir. Gendang utamanya ditabuh oleh pernyataan Presiden Jokowi pada acara pembukaan Munas Ulama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di Masjid Istiqlal, Minggu (14/6). “Islam Nusantara adalah Islam yang ramah, tidak radikal, inklusif dan toleran,” ujarnya.

Sangat mirip dengan pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa, isu Islam Nusantara ini pun membuat umat kembali terjebak dalam hiruk-pikuk yang membingungkan. Hiruk pikuk yang sebenarnya tidak perlu, bahkan kontraproduktif! Mengapa?

Dari penyebab kemunculannya, kita patut bertanya, mengapa tiba-tiba kembali dimunculkan istilah yang mengkotak-kotakkan Islam dalam sekat Nusantara maupun lainnya? Kalau penyebabnya adalah perilaku sebagian kaum Muslimin yang dianggap meresahkan, mengapa harus menyoal Islam-nya?

Bila kita gundah dengan sekelompok massa berjubah yang melakukan tindakan semena-mena atas nama nahi munkar, kritik saja dengan adab-adab nahi munkar yang sudah diatur oleh Islam. Pun juga kita gusar dengan berbagai kejadian di Timteng yang mengatasnamakan Islam, mari kaji dalil Islam yang dianggap membenarkannya.

Bila kita resah dengan takfir (pengkafiran), tabdi’ (pembid’ahan) dan tasyrik (pemusyrikan), solusinya pun sederhana. Biarkan para alim ulama duduk untuk menjadikan ilmu sebagai hakim atas semua persoalan yang diperdebatkan. Toh, apapun masalahnya, Islam dengan segenap disiplin ilmu yang dikandungnya telah menyediakan jawabannya.

Ilmu Ushul Fikih, misalnya, telah memberikan panduan bagaimana mengimplementasikan syariat Islam yang luwes namun tidak sesat nilai. Pengakuan akan kebiasaan sebuah masyarakat, misalnya, diakui dengan istilah Al-‘Urf.

Selama sebuah tradisi tidak bertabrakan dengan kaidah-kaidah Islam, sah untuk dijalankan. Namun ketika bertentangan, di situlah Islam sebagai agama didahulukan atas tradisi dan budaya. Maka, penjelasan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Ya’qub dalam hal ini cukup pendek, tapi menjawab tuntas: “Islam itu agama. Nusantara itu budaya.”

Penjelasan Ulama NU tersebut membuktikan bahwa semua masalah dalam Islam, solusinya adalah ilmu. Ini sekaligus menambah keprihatinan kita, betapa di akhir zaman ini banyak pihak begitu mudah berbicara tentang Islam padahal tidak punya kompetensi ilmu Islam.

Munculnya Islam Nusantara juga menimbulkan sebuah pertanyaan mendasar, seperti apa bentuknya. Sebab, mengacu kepada istilah Nusantara berarti tidak terbatas hanya pada Jawa. Tak salah bila kemudian muncul kecurigaan adanya dominasi Jawa dalam praktek keislaman.

Pun ketika Islam Nusantara melampaui sampai pada batas menolak Arabisasi, tentu saja kita patut tertawa sekaligus waspada. Tertawa, karena geli melihat sekelompok orang yang sok tahu, menganggap Islam seratus prosen adalah Arab. Waspada, jangan-jangan ada penumpang gelap di balik kegaduhan ini semua []
 Istilah Islam Nusantara dinilai sebagai sebuah kalimat yang berbahaya. Menurut Ketua Dewan Syuro Front Pembela Islam (FPI) KH Misbahul Anam, kalimat tersebut akan berpotensi merusak akidah.

“Hati-hati dengan kalimat yang sangat berbahaya ini (Islam Nusantara),” kata Misbahul dalam sebuah diskusi “Bahaya Tilawah Al-Quran Langgam Jawa” di Jakarta, Sabtu (27/06).

“Karena bermula dari kalimat ini, akan bermunculan kalimat-kalimat bahaya selanjutnya,” imbuhnya.

Misbahul Anam menambahkan bahwa dengan satu istilah Islam Nusantara maka akan berpotensi memunculkan istilah-istilah lain. Dari satu istilah tersebut maka akan muncul pemikiran boleh memiliki nabi Nusantara.

Selain itu karena orang Nusantara, lanjut Misbahul, Al-Quran tidak harus dibaca dengan bahasa Arab. Demikian juga dalam salat, dengan alasan orang Nusantara maka salat tidak harus memakai bahasa Arab. Potensi lain, akan muncul anggapan karena dasar Islam Nusantara saat salat tidak harus menghadap ke Ka’bah, dan haji tidak harus ke Mekah.

“Hati-hati, dengan kalimat yang akan bermunculan karena dimulai dengan satu kalimat yang berbahaya yang merusak akidah kita,” tandasnya.

Kampanye Islam Nusantara terus bergulis sejak ramai dibicarakan ketika dikait-kaitkan dengan munculnya bacaan tilawah langgam Jawa di Istana Negara. Saat itu bacaan Al-Quran langgam Jawa dilantunkan dalam acara peringatan Isra’ Mi’raj.

Kemudian presiden Jokowi turut menyuarakan istilah tersebut dalam Istighotsah menyambut Ramadhan dan pembukaan Munas alim ulama NU di Masjid Istiqlal, Ahad (14/06). “Islam kita adalah Islam Nusantara, Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh tata krama, itulah Islam Nusantara, Islam yang penuh toleransi,” kata Jokowi kala itu.

 

Reporter : Imam S.

Editor: Fajar Shadiq
Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Muda Indonesia Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi menegaskan bahwa istilah Islam Nusantara harus dikoreksi. Pasalnya, istilah itu telah memberikan atribut Islam dengan sesuatu yang partikular, yang sangat membatasi Islam.

“Istilah itu (Islam Nusantara, red) istilah yang perlu dikoreksi,” kata Gus Hamid saat menjadi pembicara dalam seminar akbar bertemakan Islam dan Nusantara, Sebuah Upaya Pencerahan Negeri, yang diselenggarakan Aliansi Pemuda Islam Indonesia, Ahad (05/07) di Gedung Joeang Jakarta.

“Menjadi sangat membatasi Islam yang sangat universal itu, menjadi sangat partikular,” tegasnya.

Dia menambahkan bahwa tidak ada untungnya menjadikan Islam menjadi partikular atau terbatas. Sehingga nantinya ketika berbicara Islam di dunia internasional juga akan berbicara secara terbatas. Karena konsekuensinya ketika ada Islam Nusantara akan ada Islam yang lain seperti Islam Arab, Eropa dan sebagainya.

Pimpinan Pondok Pesantren Modern Gontor itu menjelaskan bahwa apa yang telah diterapkan di Indonesia adalah hal-hal yang universal. Salah satu contohnya adalah sikap toleransi.

“Toleransi itu ya Islam, bukan Islam Indonesia,” imbuhnya.

“Islam dibawa oleh Islam. Kenapa kita kemudian mereduksi ini gara-gara orang Indonesia,” pungkasnya.



Reporter : Imam S.

Editor: Fajar Shadiq
Kontroversi “Islam Nusantara” sebagai tema utama Muktamar NU ke-33 terus berlanjut. Di media sosial, masalah Islam Nusantara ini banyak jadi polemik dan bahkan menuai kecaman. Bagaimana di internal NU?

Ternyata banyak kiai Nahdlatul Ulama (NU) yang tak setuju dengan istilah Islam Nusantara jadi tema utama Muktamar NU ke-33 di alun-alun Jombang. Menurut mereka, istilah Islam Nusantara mempersempit ruang lingkup Islam dan cenderung eksklusif.

”Padahal NU sendiri tidak hanya di Indonesia tapi juga berkembang di luar negeri. Bagaimana dengan teman teman NU yang berada di Singapura, Malaysia dan sebagainya,” kata KH Misbahussalam, Wakil Ketua Pengurus
Cabang Nahdjatul Ulama (PCNU) Kabupaten Jember, seperti dikutip dari laman nugarislurus.com, Selasa (07/07).

Bahkan, menurut Misbah, ada dugaan disosialisasikannya Islam Nusantara untuk mengakomodasi ajaran yang bertentangan dengan Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja).

Apalagi mulai muncul pendapat bahwa Syiah di Indonesia ada lebih dulu ketimbang Sunni. Artinya, Syiah harus
diakomodasi oleh Islam Nusantara karena bagian dari khazanah atau kekayaan agama Nusantara.

”Panitia Muktamar harus mengganti istilah Islam Nusantara dengan istilah yang tidak bertentangan dengan ideologi NU,” katanya.

Tokoh lainnya, KH Muhsyiddin Abdusshomad, Rais Syuriah PCNU Kabupaten Jember juga minta agar Panitia Muktamar NU ke-33 memakai Islam Rahmatan Lil Alamin yang selama ini sudah jadi jati diri NU.

“Istilah Islam Rahmatan lil Alamin yang dipakai selama ini sudah benar karena ada rujukannya dalam Al Quran,”
katanya, Selasa (07/07).

Menurut dia, istilah Islam Nusantra tak punya sumber baik dalam Al-Quran, hadits, ijma maupun qiyas. ”Justru
banyak pihak baik di internal maupun eksternal NU menyerang NU karena persoalan istilah Islam Nusantara,” kata
Kiai Muhyiddin.

Tak ketinggalan, salah seorang tokoh deklarator PKB, KH Muhith Muzadi juga mengaku tak setuju dengan islah Islam Nusantara. Alasannya, Islam itu satu. Yaitu Islam yang sudah jelas ajarannya.

“Rumusan khittah itu sudah jelas dan itu adalah ideologi NU. Kalau ada Islam Nusantara pasti ada mafhum mukholafah. Berarti Islam non-Nusantara,” kata kiai penggagas khittah NU 26 yang diratifikasi KH Ahmad Siddiq itu.
Sumber: www.nugarislurus.com

Penulis: Fajar Shadiq
Imam Besar Masjid Istiqlal KH. Ali Mustofa Yaqub turut mengomentari istilah Islam Nusantara yang mulai marak didengungkan belakangan ini. Menurutnya, istilah Islam Nusantara baru muncul baru-baru ini saja.

“Jadi sebenarnya Islam Nusantara itu tidak ada, yang ada Muslim Nusantara,” kata KH Ali Mustofa Yaqub kepada Kiblat.net, Selasa (19/05).

Istilah Muslim Nusantara mengacu pada orang Islam Indonesia yang mengadaptasi Islam dalam budaya Nusantara.

“Kalau Islam ya Islam, seperti apa kata Al Quran dan Hadits,” tandasnya.

Dia lantas mencontohkan dalam hal berpakaian. Muslim Indonesia tidak memakai jubah dan surban seperti orang Arab, tetapi memakai pakaian sesuai apa yang menjadi kebiasaan pakaian di Nusantara.

“Makanya Islam itu kan tidak memberikan kriteria atau bentuk berpakaian. Islam tidak memberikan amanat harus pakai surban, harus pakai jubah. Sesuai dengan daerah masing-masing, yang penting ada kriterianya,” imbuhnya.

Dalam hal berpakaian, lanjut Ali Mustofa, Islam telah menetapkan kriteria. Kriteria itu biasa dirumuskannya dengan T4 antara lain tutup aurat, tidak transparan, tidak ketat, tidak menyerupai pakaian lawan jenis.

Menurutnya juga ada kriteria adab dalam berpakaian yaitu tidak memakai pakaian yang berbeda dengan masyarakat di sekitar tempat tinggal. Artinya, memakai pakaian yang dipakai masyarakat secara umum.

“Jadi saya pikir yang dimaskud itu bukan Islam Nusantara. Mungkin yang dimaksud adalah muslim yang beradaptasi dengan Nusantara,” pungkasya.

BACA JUGA  Tiga Tewas Ditembaki Kelompok Bersenjata Papua di Distrik Torere
Sebelumnya, kata Islam Nusantara juga pernah muncul dalam acara puncak ajang pemilihan Putri Muslimah Indonesia 2015 yang digelar Rabu (13/05). Putri Gus Dur, Yenni Wahid, yang menjadi juri dalam ajang tersebut juga menyampaikan pertanyaan mengenai Islam Nusantara kepada finalis.

Keberadaannya muncul seiring mencuatnya fenomena bacaan Al Quran langgam Jawa yang dikumandangkan saat peringatan Isra’ Mi’raj di Istana Negara beberapa waktu lalu. Kemudian, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengungkapkan bahwa lantunan Al-Quran semacam itu merupakan bagian dari Islam Nusantara.



Reporter : Imam S.

Editor: Fajar Shadiq
Dikampanyekannya istilah Islam Nusantara oleh sejumlah tokoh dan pejabat negara terus mendapat sorotan. Ketua Bidang Seni Budaya MUI Pusat, KH Cholil Ridwan menilai perlu adanya koreksi terkait istilah tersebut.

“Tidak ada Islam Nusantara itu. Islam itu Islam saja. Islam alami, Islam internasional,” kata KH Cholil Ridwan kepada Kiblat.net, Selasa (19/05).

Menurut Kyai Cholil, dengan tidak adanya Islam Nusantara berarti tidak ada juga Islam Arab, Islam Cina, Islam Eropa, dan sebagainya. Dia juga menegaskan bahwa Islam itu satu, yaitu Islam yang rahmatan lilalamin.

Dalam berbagai kesempatan, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin berulang kali mengungkapkan istilah Islam Nusantara. Beberapa waktu lalu muncul bacaan Al-Quran langgam Jawa dalam peringatan Isra’ Mi’raj di Istana Negara yang dianggap untuk memelihara Islam Nusantara. Belakangan, wacana itu justru menimbulkan perdebatan di kalangan umat Islam sendiri.

Kyai Cholil menambahkan, tidak perlu ada klaim Islam Nusantara, yang seolah-olah menarik Islam hanya milik orang Indonesia. Sehingga kemudian akan menolak Islam dari belahan negara lain seperti dari Arab, dan jika ada orang yang berbeda dianggap bukan Islam Nusantara.

“Islam itu diturunkan untuk seluruh umat manusia, rahmatan lilalamin. Jadi tidak perlu kita bonsai, Islam yang sudah besar untuk seluruh alam lalu dijadikan Islam Indonesia, Islam Barat, Islam Timur,” ujarnya.

BACA JUGA  6 Jurnalis Kiblatnet Ikuti Uji Kompetensi Wartawan
Ulama kelahiran Jakarta ini menghimbau kepada pemerintah agar tidak memaksakan istilah Islam Nusantara. Jika terus dibesar-besarkan dia khawatir akan menjadi masalah bagi umat Islam sendiri.

“Akhirnya umat Islam akan punya PR terus, dan akan ketinggalan terus. Sekarang di-cooling down sajalah,” pungkasnya.



Reporter : Imam S.

Editor: Fajar Shadiq
Alunan suara bacaan Al-Quran langgam Jawa di Istana Negara beberapa waktu lalu masih mengiang di telinga umat Islam Indonesia. Bak virus ganas, potongan video bacaan Surat An-Najm ayat 1-15 oleh Muhammad Yasser Arafat segera menyebar luas dan menyisakan tanya di tengah kaum muslimin.

Sesaat setelah kemunculan bacaan Al-Quran langgam Jawa di Istana Negara, menyeruak tanya siapa orang di balik acara itu. Jokowi yang menjadi tuan rumah langsung disorot tajam. Namun sedikitpun tak segera muncul klarifikasi dari rumah tangga istana yang menanggapi kebingungan umat.

Tak lama berselang, muncul statement Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang secara terus terang mengakui bahwa bacaan Al-Quran versi langgam Jawa di Istana Negara adalah inisiatifnya. Dia berdalih bahwa itu dilakukan dalam rangka melestarikan tradisi Islam Nusantara. Dengan bangga pula, sang menteri menyatakan akan memfestivalkan gaya bacaan Al-Quran tersebut.

“Tujuan pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa adalah menjaga dan memelihara tradisi Nusantara dalam menyebarluaskan ajaran Islam di Tanah Air,” kata Saifuddin.

Apakah jawaban Menteri Lukman menjawab kebingungan umat Islam Indonesia? Ternyata tidak. Yang terjadi justru kegaduhan akibat lagu bacaan Al-Quran versi langgam itu. Tak butuh waktu lama, muncullah berbagai macam pendapat disertai alasan yang mendukung dan menolak bacaan Al-Quran yang tak biasa terdengar di telinga umat itu.

 Sebagian kalangan ulama menjelaskan tak ada masalah dalam bacaan Al-Quran gaya langgam, asalkan tak menabrak aturan-aturan yang ada. Memperhatikan tajwid dan makhraj yang tak merubah makna kata adalah syarat wajib yang harus dipenuhi dalam membaca kita suci umat Islam itu. Namun semua sepakat, gaya bacaan Al-Quran apapun tidak boleh menimbulkan madharat.

KH Cholil Ridwan, salah satu ulama di Majelis Ulama Indoneia (MUI), mewanti-wanti perihal timbulnya mudharat berupa perpecahan di kalangan umat Islam, terutama akibat masifnya kampanye tradisi Islam Nusantara itu. “Akhirnya umat Islam akan punya PR terus,” kata Kyai Cholil.

Pro kontra terus bergulir. Pihak-pihak yang menolak menilai bacaan Al-Quran versi langgam termasuk menyelisihi kultur kitab suci umat Islam itu sendiri, yang memang diturunkan dalam bahasa Arab. Selain itu, potensi terlanggarnya kaidah bacaan yang baik dan benar sangat besar dengan gaya bacaan seperti itu.

Yang memprihatinkan, bagi kalangan yang mendukungnya, isu langgam ini justru menjadi arena olok-olok terhadap Islam sendiri. Dan lagi-lagi kaum liberal lah yang berjajar dalam barisan ini.

Dukungan yang berujung pada pelecehan Islam muncul dari mulut Ade Armando, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI) yang berpikiran liberal dan dikenal sebagai salah satu pendukung setia Jokowi saat Pemilu lalu. “Allah kan bukan orang Arab. Tentu Allah senang kalau ayat-ayatNya dibaca dg gaya Minang, Ambon, Cina, Hiphop, Blues…,” kicau Ade di Twitter. Kalimat serupa juga dijadikan status oleh Ade di jejaring sosial Facebook.

BACA JUGA  Pecah..! Ribuan Warga Solo Deklarasikan #2019GantiPresiden
Bisa ditebak, kecaman dan hujatan dari berbagai kalangan umat Islam segera meluncur, mengarah ke Ade. Tak cukup sampai di situ, ucapan dosen itu pun bermuara di jalur hukum. Dia dilaporkan ke pihak Kepolisian karena dianggap telah melakukan penistaan terhadap agama.

Peristiwa diatas barangkali hanya menjadi secuil kegaduhan yang terjadi sebagai akibat dari rangkaian kampanye tradisi Islam Nusantara. Melihat itu, masihkah Pak Menteri Lukman keukeuh mengusung Islam Nusantara, yang menjadikan bacaan Al-Quran langgam Jawa sebagai salah satu sarananya.

Akan semakin memprihatinkan jika kegaduhan, bahkan potensi perpecahan umat Islam, hanya ditukar dengan sebuah cita-cita tertinggi di atas panggung festival. Islam Nusantara, inikah PR baru umat Islam?



Imam Suroso, Jurnalis Kiblat.net
Belakangan ini sangat gencar diwacanakan gagasan ‘Islam Nusantara’ atau ‘Islam Indonesia’ oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin dan sejumlah kalangan. Umumnya, pendukung gagasan tersebut, menjadikan dakwah wali songo sebagai role modelnya.

Namun, Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) menilai wacana Islam Nusantara justru bertentangan dengan motivasi dakwah Wali Songo.

“Kesalahan terbesar gagasan Islam Nusantara ini adalah salah niat. Dimana salahnya? Niat Walisongo itu mengislamkan nusantara. Gagasan walisongolas ini malah ingin menusantarakan Islam,” kata Ustadz Bachtiar Nasir saat berbincang dengan sejumlah wartawan seusai acara Launching Program Spesial Ramadhan 1436 H di sekretariat AQL, pada Jumat malam (12/06).

Ustadz Bachtiar berpendapat, gagasan Islam Nusantara berawal dari suuzhan atau prasangka buruk bahwa Islamisasi artinya Arabisasi. Padahal, menurut dia, Islamisasi tidak selalu artinya Arabisasi.

“Ini mispersepsi lagi, tidak mesti dong Islamisasi itu Arabisasi” cetusnya.

Lulusan Pesantren modern Gontor ini menilai, ada sebagian orang yang benci dengan bangsa Arab menunggangi gagasan tersebut. Sementara, menurutnya, bila itu muncul dari sikap benci kepada bangsa Arab, maka sama saja dengan sikap kaum Yahudi dahulu saat mereka menolak kenabian Rasulullah Muhammad Saw karena berasal dari bangsa Arab.

Bahkan, Yahudi menilai malaikat Jibril ‘salah’, karena dia menurunkan wahyu kepada orang Arab, yakni Nabi Muhammad SAW, bukan kepada Bani Israil.?

 “Kepada orang yang benci sama Arab, janganlah jadi penerus perasaan Bani Israel. Cobalah mereka bertaubat jangan-jangan perasaan ini sudah tersusupi oleh iblis-iblis yang pernah berhasil menyusupi perasan Bani Israel masa lalu yang nggak suka sama Arab,” tandas Direktur AQL Islamic Center itu.
Reporter: Bilal Muhammad

Editor: Fajar Shadiq
Di tengah khusuknya kaum Muslimin menunaikan ibadah berpuasa, sekonyong-konyong umat ini seolah disibukkan dengan kemunculan istilah baru bernama “Islam Nusantara”. Dalam pembukaan Munas Alim-Ulama NU di Masjid Istiqlal, pada Ahad (14/06), Presiden Jokowi mengatakan, “Islam kita adalah Islam Nusantara, Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh tata krama, itulah Islam Nusantara, Islam yang penuh toleransi.”

Hal ini menjadi fenomena yang menarik diperbincangkan. Bukan melihatnya dari sudut pandang bagaimana proses kesejarahan masuknya Islam ke Indonesia, sehingga melahirkan akulturasi nilai yang integral dan khas. Melainkan seolah isu ini dijadikan pembenaran sejarah munculnya Islam dalam bingkai kampanye secara masif, Islam Nusantara, yang didikotomikan dengan Islam Radikalis atau Islam Fundamentalis.

Apalagi, munculnya Islam Nusantara dianggap sebagai antitesa dari gambaran Islam Timur Tengah yang dicitrakan penuh dengan kekerasan dan perpecahan dengan mengangkat realitas politik yang berkembang saat ini. Ditambah lagi sebagaimana disampaikan oleh Jokowi berulang-ulang di berbagai forum internasional tentang pentingnya membangun kesan lain atau citra spesifik gambaran Islam Nusantara kepada Barat. Sebuah gambaran Islam yang toleran, sopan santun, moderat dan damai.

Masifnya kampanye Islam Nusantara di tengah konstelasi politik global seperti mengindikasikan bagaimana memosisikan Indonesia sebagai entitas politik mayoritas muslim terbesar dalam percaturan politik internasional. Sangat naif untuk tidak menyebut ada sebuah skenario besar negara-negara adi daya Eropa dan Amerika, sebagai pemain politik utama dunia di tengah kecamuk politik internasional.

Sangat mudah melihat perilaku politik negara-negara besar melalui berbagai strategi politik intervensi dan invasinya. Ada pola dan intensitas yang berbeda bagaimana negara-negara besar memperlakukan negeri-negeri Muslim di jazirah Arab (Timur Tengah) dengan di Asia terutama Asia Tenggara.

Nampaknya, kekhawatiran Barat dalam konteks ini adalah besarnya pengaruh resonansi konflik Timur Tengah yang bergolak kepada potensi pergolakan yang sama di negara lain termasuk Indonesia. Dan, sebagai sebuah negara yang secara politik, ekonomi, sosial dan budaya sangat bergantung pada negara lain, maka Indonesia memiliki potensi untuk dibuatkan sebuah rumusan intelektual baru.

Caranya, dengan memanfaatkan legitimasi historis, psikologi sosial yang lemah, ketidakberdayaan intelektual, budaya sinkretis, phobia nilai islam yang secara substansial memiliki kepentingan yang sama dan sejalur dengan kepentingan barat bernama Islam Nusantara. Islam ala Indonesia yang berbeda sama sekali dengan Islam negara lain. Namun kompromis dengan barat karena dianggap bertentangan dengan gambaran Islam Radikalis atau Islam Fundamentalis yang direpresentasikan oleh Timur Tengah.

Betapa luar biasanya skenario global terhadap Islam dengan pendekatan adu domba melibatkan kepentingan negara dan kelompok melalui tangan para penguasanya. Parahnya, kelompok-kelompok Islam yang dimanfaatkan itu juga memiliki kepentingan politik pragmatis yang sejalan sehingga mudah diperdaya.

Kampanye Islam Nusantara di tengah arus ‘War On Terrorism’
Di tengah longgarnya interpretasi terhadap sejarah Islam Nusantara (Indonesia), kampanye masif Islam Nusantara nampaknya tidak bisa dipisahkan dengan sejarah panjang “War On Terrorism”. Meski hal itu sengaja ditutup-tutupi agar tidak kelihatan wajah aslinya dan agar mendapatkan tingkat penerimaan yang tinggi.

Dengan memanfaatkan potensi masyarakat berbasis kultur patrimonial terutama di Jawa. Sebuah kultur yang lebih mengedepankan ikatan emosional dengan para kyainya ketimbang ikatan rasional. Potensi psikologi kultur masyarakat seperti itu dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan politik pragmatis para pemimpinnya. Tak bisa dipungkiri, bahwa rumusan Islam Nusantara adalah metamorfosis dari Islam Moderat yang secara masif dikampanyekan sebelumnya. Agar mendapatkan kesesuaian emosional, sosial dan kultural dengan masyarakat Indonesia maka istilah yang dipandang tepat adalah Islam Nusantara.

Istilah ini lebih menusuk alam bawah sadar masyarakat Indonesia. Meski jika digali secara normatif mengikuti tradisi intelektual salafus shalih akan sangat terbatas narasi yang dibangun. Hanyalah berisi legitimasi historis, sosial, kultural dan politis. Dengan menggunakan pendekatan tafsir kontekstual sebagaimana barat mengembangkan tafsir “hermeneutika”. Hal ini seperti melihat Islam menggunakan kacamata Barat. Layaknya menjelaskan Islam seperti tertuduh penuh rasa bersalah.

Jika mencermati asal muasal Islam Nusantara alias Islam Moderat maka penting melihat kembali sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh seorang mantan Menteri Pertahanan AS, Paul Wolfowitz yang menyatakan, “Untuk memenangkan perjuangan yang lebih dahsyat ini, adalah sebuah kesalahan kalau menganggap kita yang memimpin. Tapi kita harus semaksimal mungkin mendorong suara-suara muslim moderat.” (Siapakah Muslim Moderat?, Suaidi Asy’ari, Ph.D, 2008).

Perbincangan Islam Moderat ini adalah sebuah perjalanan panjang yang terkait dengan pembahasan hangat tentang terorisme, fundamentalisme dan radikalisme. Mereka mendapatkan momentumnya pada peristiwa WTC 9/11 di dunia. Sementara di Indonesia, diawali dengan terjadinya bom Bali diteruskan bom JW Marriot dan Ritz Carlton hingga sekarang dengan keberadaan ISIS.

 
Tiga tahun setelah peristiwa 9/11, Huntington menegaskan perlunya musuh baru bagi Amerika Serikat dan barat. Dan katanya, musuh itu sudah ketemu, yaitu kaum Islam militan. Dalam bukunya, “Who Are We?” (2004), Huntington menempatkan satu sub-bab berjudul “Militant Islam vs America”, yang menekankan, bahwa saat ini, Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS. Setelah itu terjadilah “perburuan Islam militan” atau “Islam radikal”. Mulai dari Usama Bin Laden hingga IS ala ISIS yang dianggap sebagai simbol teroris internasional.

Kerangka masif kampanye Islam Nusantara alias Islam Moderat di berbagai forum dan kesempatan oleh berbagai pihak di bawah komando Jokowi menyisakan pertanyaan besar ada kepentingan besar apa sebenarnya yang ada di baliknya ? Wallahu a’lam bis shawab.



Oleh: Abu Fikri (Aktivis Gerakan Revivalis Indonesia)
Istilah Islam Nusantara baru-baru ini semakin gencar diwacanakan, setidaknya menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin juga ikut mendorong wacana tersebut. Beragam tanggapan muncul atas wacana Islam Nusantara.

Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH.Ma’ruf Amin sendiri tidak mempermasalahkan penggunaan istilah apapun. Terpenting, menurut dia, esensinya adalah mengembangkan Islam yang tidak ekstrim di Indonesia.

“Istilah macam-macam gak masalah, yang penting isinya itu moderat,” katanya menjelang sidang Istbat Penentuan Awal Ramadhan kepada kiblat.net, beberapa waktu lalu (16/6) di Kantor Kemenag, Jakarta.

Menurut dia, MUI mendukung konsep Islam apapun asalkan substansi konsep tersebut moderat. “MUI tidak mempermasalahkan sebutan, yang penting perilakunya itu moderat, washatiyah (pertengahan),” cetus Kiyai Ma’ruf.

Dia menegaskan, istilah Islam Nusantara jangan sampai dipahami sebagai Islam yang berbeda dengan Islam sesungguhnya.

“Jangan sampai Islam itu kemudian diartikan yang lain-lain. Kalau moderat, Islam memang begitu,” tandasnya.

Seperti diketahui, istilah Islam Nusantara yang diklaim sebagai ciri khas Islam di Indonesia yang mengedepankan nilai-nilai toleransi dan bertolak belakang dengan ‘Islam Arab’, telah menimbulkan kontroversi. Tidak sedikit pihak yang pro dan kontra di kalangan penganut Islam di Indonesia.


Reporter: Bilal Muhammad

Editor: Fajar Shadiq
Mayoritas ulama dan tokoh Islam menilai istilah ‘Islam Nusantara’ masih belum jelas definisinya. Salah satunya adalah Ketua PP Pemuda Persatuan Islam (PERSIS) Ustadz Tiar Anwar Bachtiar.

Menurutnya, kalau Islam Nusantara memposisikan diri berbeda dengan Arab. Justeru, atribut pengusung konsep Islam Nusantara sangat identik dengan Arab.

Sebagaimana diketahui, ide Islam Nusantara dimunculkan sebagai antitesa Islam Arab yang ditudung sarat konflik dan kekerasan

“Kalau yang dia maksud Islam Nusantara itu adalah Islam yang bukan Arab. Dan diminta contoh, misalkan praktek yang dilakukan oleh NU. NU itu contoh Arabisasi yang sangat baik. Organisasi NU yang dianggap bagian dari Islam Nusantara dari namanya saja sudah Arab, Nahdlatul Ulama,” kata Tiar kepada Kiblat.net melalui sambungan telepon, pada Kamis (19/6).

Lebih dari itu, nama-nama ulama dan Kiyai di basis NU di Jawa Timur semua menggunakan istilah Arab. Menurut dia, tidak ada Kiyai NU yang menggunakan nama Jawa. Kemudian, penggunaan istilah-istilah dan nama oleh Pesantren juga hampir semuanya berbahasa Arab.

“Jadi saya kira, istilah Islam Nusantara yang dicetus Said Aqil itu absurd. Definisinya tidak jelas, yang dimaksud Islam Nusantara itu apa? Jadi, dari segi definisinya sudah tidak jelas,” ujar peneliti INSISTS ini.



Reporter: Bilal Muhammad

Editor: Fajar Shadiq
 Peneliti Sejarah, Tiar Anwar Bachtiar memandang, dari sisi sejarah, Islam tidak bisa melepaskan dari Arab dan kulturnya. Karena, sejak awal penyebar Islam ke Indonesia adalah orang-orang Arab.

“Memang yang datang itu orang-orang Arab. Kita lihat komunitas Arab itu banyak sekali di Indonesia, keturunan mereka sampai atas juga sudah sangat lama berada di Indonesia dan sudah berurat akar,” terang pegiat INSISTS ini kepada Kiblat.net, kemarin (18/06).

Sehingga, lanjutnya, bila kemudian Islam agak dipengaruhi oleh kultur Arab adalah hal yang wajar dan tidak bisa dihindari.

“Wajar saja, ada proses akulturasi, itu biasa-biasa saja. Alami tidak perlu dibesar-besarkan,” cetus Ustadz Tiar.

Dia berpendapat, budaya Arab yang masuk ke Indonesia secara natural akan menyesuaikan diri dengan budaya setempat, kultur mereka akan bersentuhan dan mencocokan diri. Meski, kultur Arab dibawa 100 persen ke Indonesia, nanti akan berkurang sendiri.

“Contohnya, orang Arab itu di negaranya memakai gamis, ketika di Indonesia hampir tidak ada orang Arab memakai gamis. Mereka memakai celana panjang. Karena alamnya beda, di Indonesia dari segi kendaraan orang bepergian memakai sepeda motor, kalau di Arab tidak ada sepeda motor, orang bepergian dengan mobil, tentu tidak masalah selalu pakai gamis,” papar Ketua Umum Pemuda Persis ini.

Selain itu, sambungnya, dalam segi bahasa orang Arab juga akan menyesuaikan diri ketika dia datang ke suatu tempat dan tinggal cukup lama di sana.

 “Kalau mereka menggunakan bahasa Arab, orang di sini tidak mengerti. Pasti mereka akan berusaha menggunakan bahasa setempat,” tandasnya.

Seperti diketahui, belakangan ini istilah Islam Nusantara tengah digencarkan dan diklaim sebagai ciri khas Islam di Indonesia. Menurut para pengusungnya, Islam Nusantara mengedepankan nilai-nilai toleransi dan bertolak belakang dengan “Islam Arab”.

Pandangan ini memunculkan kontroversi di kalangan tokoh dan cendekiawan Islam di Indonesia.



Reporter: Bilal Muhammad

Editor: Fajar Shadiq
Konsep Islam Nusantara yang dimunculkan oleh sebagian kalangan Muslim di Indonesia, menekankan moderatisme sebagai ciri utamanya. Para pengusungnya mengklaim, konsep Islam Nusantara jauh dari ekstrimisme dan anti dengan kekerasan.

Lalu, bagaimana Islam memandang moderatisme dan kekerasan itu sendiri?

Sejarawan Islam, Ustadz Tiar Anwar menegaskan Islam secara prinsip memang menolak ekstrimisme (ghulluw: berlebihan dalam agama). Akan tetapi, menurut dia, Islam masih membolehkan tindakan tegas jika dilakukan pada aspek dan tempat tertentu. Prinsip ini, menurutnya, disepakati oleh semua orang.

Dia mencontohkan, ketika terjadi peperangan, penggunaan kekerasan dengan aksi saling bunuh itu diizinkan. Begitu juga saat membela diri, dan penegakan hukum yang dilakukan oleh negara.

“Jadi, Islam ini secara prinsip anti ekstrimisme dan anti kekerasan. Akan tetapi, bukan berarti sama sekali tidak ada kekerasan. Karena, nanti pada titik tertentu dibutuhkan kekerasan,” katanya saat dihubungi oleh Kiblat.net pada Kamis (18/6).

Secara paradigma umum, konsep kekerasan terbatas seperti itu dibenarkan oleh semua ideologi dan agama tidak hanya oleh Islam. Meski demikian, Islam itu sendiri saat pertama kali datang ke Indonesia dengan damai.

“Siapa yang membawa Islam itu membawa kedamaian. Tidak, orang Islam datang ke suatu tempat tiba-tiba membuat rusuh. Tidak ada sejarahnya,” terangnya.

Peneliti INSISTS ini berpendapat, Islam masuk ke Indonesia tidak ada yang melalui proses perang. Tidak juga melalui futuhat (penaklukan menggunakan militer) antar kekuasaan. Di Indonesia, Islam masuk melalui dakwah dan diislamkan oleh para dai.

“Sebetulnya, kalau bisa di Islam kan lewat dakwah sudah selesai, tidak ada persoalan. Karena, perang itu alternatif terakhir. Biasanya Nabi kalau mau menaklukan wilayah tidak ujug-ujug perang, ditawarkan dulu Islam, ‘Aslim Taslam’ kalau kalian masuk Islam kalian mendapatkan keselamatan (akhirat), kalau tidak ditawarkan membayar jizyah, terakhir baru perang,” jelasnya.

Pada masa Kerajaan Islam Demak, ujarnya, memang pernah terjadi perang dengan Majapahit, Perang itu disebut perang Paregreg. Namun, menurut dia, motifnya hanya politik bukan faktor agama.

“Sebab, pada saat itu juga Majapahit sudah banyak yang Islam. Perang itu terjadi, hanya karena ada persoalan politik yang tidak bisa diselesaikan kecuali dengan perang,” cerita Ustadz Tiar.

Jihad Bagian dari Islam

Selain itu, konsep Islam apapun yang diwacanakan tidak mungkin menolak konsep jihad. Karena, jihad merupakan bagian dari ajaran Islam yang dibutuhkan oleh manusia untuk menghentikan kejahatan dan penindasan.

Bila berkaca pada sejarah, lanjutnya, ulama-ulama yang dijadikan rujukan oleh pengusung Islam Nusantara pada zaman kolonial juga memfatwakan jihad melawan Belanda. Seperti, pada masa Pangeran Diponegoro, Sultan Agung, perang di Sumatera Barat, dan perang di Banten saat melawan VOC atau pemerintah Belanda semuanya mengunakan fatwa jihad.

“Jihad di Indonesia pernah digunakan untuk menghentikan kezaliman, sebab ketika kezaliman itu sudah menggunakan kekerasan dan fisik harus dilawan dengan fisik. Kan tidak mungkin kita mau dibunuh hanya dilawan dengan sholawatan, bakal mati. jadi mustahil,” bebernya.

Ustadz Tiar menilai, konsep jihad sudah inheren di dalam Islam untuk digunakan sesuai tempatnya. Kalau tidak digunakan sesuai tempatnya salah secara hukum. Dia mencontohkan, ketika bukan musim perang seseorang malah membuat bom. Tentu hal itu salah, bisa diadili karena tidak menggunakan kekerasan sesuai dengan tempatnya.

“Jihad itu harus ada konsepnya, sebab suatu ketika akan digunakan. Negara kita sendiri punya tentara itu namanya angkatan perang. Kalau angkatan perang itu disiapkan. Kalau tentara tidak cukup, nanti menggunakan sipil namanya wajib militer,” bebernya.

Konsep pertahanan negara seperti itu, kata Ustadz Tiar, juga sudah ada pada zaman Umar Bin Khattab radhiallahu anhu. “Pada masa itu yang berperang itu tentara. Kalau tidak cukup maka akan menggunakan sipil,” pungkas Ketua Umum PP Pemuda PERSIS itu.


Reporter: Bilal Muhammad

Editor: Fajar Shadiq
 Ketua Umum PP Pemuda Persatuan Islam (PERSIS), Ustadz Tiar Anwar Bachtiar mengatakan tidak perlu memunculkan istilah-istilah baru untuk mengajarkan moderatisme Islam seperti istilah Islam Nusantara belakangan ini.

“Islam disebut Islam saja sudah moderat dan anti ekstrimisme,” katanya saat dihubungi kiblat.net, pada Kamis (18/6).

Lanjutnya, bila Islam dijalankan dengan benar dan serius sudah pasti moderat dan menolak ekstrimisme. Sehingga tidak perlu ditambahkan embel-embel Nusantara.

“Kalaupun di Islam ada perbedaan cara pandang dan mazhab itu biasa saja. Tidak ada persoalan, kalaupun ada yang muutasyadid (keras) dalam fiqh atau mutasahil (menggampangkan). Tetapi, baik yang musyadid dan mutasahil dalam menjalankan ajaran Islam itu sama, akan berpegang dengan prinsip moderat,” terangnya.

Karena, katanya, Islam itu sendiri merupakan ajaran washaton (pertengahan/moderat). Bila seseorang menjalankan Al-Quran dan Sunnah dengan benar dia pasti moderat.

“Kalaupun ada orang yang dikit-dikit perang, itu pasti tidak pakai dalil,” cetus sejarawan Islam itu.

Seperti diketahui, istilah Islam Nusantara diklaim para pengusungnya sebagai ciri khas Islam di Indonesia yang mengedepankan nilai-nilai toleransi dan bertolak belakang dengan ‘Islam Arab’.

Wacana ini telah menimbulkan kontroversi di kalangan ulama, cendekiawan dan penganut Islam di Indonesia.


Reporter: Bilal Muhammad

Editor: Fajar Shadiq
 Para pengusung Islam Nusantara seringkali menyandarkan istilah tersebut dengan sejarah masuknya Islam ke Indonesia dengan damai, tanpa peperangan. Kemudian, dibandingkan dengan Islamisasi di wilayah Arab yang diwarnai peperangan.


Menurut Dr Hamid Fahmi Zarkasyi, bahasa Islamisasi di Indonesia berbeda dengan proses Islamisasi di Timur Tengah.

“Masalahnya ketika Islam keluar dari Jazirah Arab, bahasa yang digunakan adalah masih bahasa peperangan,” kata Gus Hamid kepada Kiblat.net, seusai acara Seminar Nasional Islam dan Nusantara di Gedung Joeang Jakarta, belum lama ini, (05/07).

Pimpinan Pondok Pesantren Modern Gontor tersebut menjelaskan bahwa peperangan yang terjadi dalam proses Islamisasi di Timur Tengah bukan karena Islam yang menyerang.

Saat itu, lanjut Gus hamid, peperangan terjadi karena resistensi orang-orang di sekitar Arab sangat tinggi, seperti Persia dan Yerusalem.

Dia menambahkan bahwa ada juga daerah-daerah di Timur Tengah yang proses Islamisasinya tidak berbau perang. Sebagai contoh ketika Umar bin Khatab masuk ke Yerusalem tidak ada peperangan.

“Jadi wajah peperangan ini harus ditanda kutip. Peperangan yang mana,” ujar Gus Hamid.

Gus Hamid menambahkan proses Islamisasi di Indonesia juga diwarnai dengan peperangan, meski dalam bentuk yang berbeda. Perang yang terjadi adalah perang ideologi atau perang akidah.

“Bahasanya bukan bahasa itu (perang fisik, red) lagi. Bahasanya bahasa nalar, dan Islam memenangkan bahasa itu,” tandasnya.

Reporter : Imam S.
Editor: Fajar Shadiq
Tempo hari saya melihat tayangan ulang kontes Muslimah di salah satu TV swasta. Mirip kontes “Muslimah Beauty” yang digelar Detik.com. Kebetulan, pas giliran Yenny Wahid yang mengajukan pertanyaan kepada seorang kontestan. Inti pertanyaannya mengenai apa itu “Islam Nusantara. Yang ditanya, juga tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut dengan gamblang.

Baru-baru ini muncul polemik di media sosial tentang tilawah Al-Quran dengan langgam Jawa. Peristiwa yang terjadi pada peringatan Isra Miraj di Istana Negara ini menuai pro dan kontra. Namun, sang penggagasnya yaitu Menteri Agama, Gus Lukman Hakim Saefuddin mengatakan “Tujuan pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa adalah menjaga dan memelihara tradisi Nusantara dalam menyebarluaskan ajaran Islam di tanah air,” kata Gus Lukman melalui akun Twitter resminya, Ahad, 17 Mei 2015.

Harus kita akui kalangan NU terdepan dalam urusan menjaga tradisi Islam Nusantara. Islam Nusantara sudah menjadi trademark tersendiri bagi mereka. Oleh karena itu, artikel ini mencoba berbicara tentang Islam Nusantara. Bagaimana definisinya, siapa pengusungnya dan apa tujuan akhirnya.

“Islam Nusantara itu apa? Kalau masih nggak jelas konsepnya kok dikoarkan ke publik? Publik butuh jawaban, bukan diskusi, terkait dengan aksi ISIS.

Islam Nusantara yang belum jelas ini justru bisa membuat orang-orang yang bingung berpaling ke radikalisme, karena bisa jadi radikalisme lebih jelas konsepnya.” – Begitulah kata Mas Binhad Nurohmat dalam akun facebook-nya.

Saya baru berteman dengan Mas Binhad. Beliau ini pernah kuliah di STF Driyarkara. Sebagai Muslim yang dibesarkan dalam kultur NU, anggaplah demikian. Tetapi beliau ini kritis terhadap wacana-wacana keislaman. Tidak taklid buta seperti yang lain.

Istilah Islam nusantara ini sudah ada di masa lampau. Istilah ini sudah diadopsi menjadi nama kampus swasta di Jawa Barat, yaitu Universitas Islam Nusantara (UNINUS). Namun, sejak KH. Said Aqil terpilih menjadi Ketum PBNU, Istilah ini gencar dipromosikan ke tengah umat.

BACA JUGA  Dengan Al-Quran, Lebih Banyak Alasan Bagi Kita untuk Bersatu daripada Berpecah
“Islam Nusantara adalah gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat di Tanah Air. Ini bukan barang baru di Indonesia,” kata Ketum PBNU Prof KH Said Aqil Siraj. Sebagaimana diberitakan Republika, beliau mengatakan, konsep Islam Nusantara menyinergikan ajaran Islam dengan adat istiadat lokal yang banyak tersebar di wilayah Indonesia (Republika Online, 10 Maret 2015).

Seringkali konsep Islam nusantara dinisbatkan kepada Walisongo. Konon menurut catatan sejarah yang diyakini kalangan NU termasuk dalam hal ini ayah saya, para wali tersebut melakukan Islamisasi dengan pendekatan budaya. Tradisi Slametan, Kupatan dan sejenisnya merupakan kreasi para wali, khususnya Sunan berdarah Jawa seperti Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang.

Terkait hal itu, saya berpandangan tradisi ini sifatnya temporal, bukan sakral. Akan tetapi hingga kini pendekatan untuk mengislamkan orang Hindu kala itu untuk era sekarang tetap jadi hal yang sakral. Seakan-akan wajib! Bahasa kasarnya, menjadi Rukun Islam ke 6.

Ambil contoh, bila ada sebuah keluarga di kampung atau pedesaan tidak melestarikan tradisi Slametan, kupatan dan sejenisnya, akan mendapat 2 resiko. Pertama, jadi bahan pergunjingan tetangga bahkan bisa pula dikucilkan. Kedua, dicap sebagai penganut paham Wahabi.

Satu lagi, Nusantara ini luas. Bukan hanya bicara Jawa saja, masih ada Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali hingga Irian Jaya. Baik saya maupun pembaca akan paham bahwa konsep Islam Nusantara yang diusung kalangan NU sifatnya jawasentris.

Di Jawa itu Islam menyesuaikan dengan budaya lokal. Apakah jika elit-elit NU mempromosikan Islam Nusantara ke pulau Sumatera akan laku? Sedangkan di satu sisi, secara garis besar Sumatera itu adat dan budaya menyesuaikan dengan Islam (Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah). Belum lagi di Sumatera sudah menjadi basisnya Muslim Modernis seperti Muhammadiyah. Bahkan, di daerah tertentu kepala daerahnya dari Partai Dakwah yang dianggap beberapa kiai NU sebagai partainya kaum wahabi.

BACA JUGA  Editorial: Ketika Olahraga Jadi Alat Politik
Sebetulnya siapa yang mensponsori konsep “Islam Nusantara”? Apakah murni dari NU ataukah ditungggangi pihak Asing. Sebut saja Ford foundation, The Asia Foundation, USAID dan sejenisnya. Sudah lama diketahui, wacana-wacana nyeleneh dan prematur dibiayai oleh Asing. Mulai dari proyek pluralisme agama, multikulturalisme, gender, hingga deradikalisasi teroris. Saya ingin kalangan yang mengusung konsep ini transparan kepada umat.

Selanjutnya saya penasaran juga, sebenarnya apa tujuan akhir dari konsep “Islam nusantara”. Ingin memperkuat eksistensi agama Allah kah? Ataukah memperkuat ladang kehidupan para elit NU dari serbuan purifikasi kalangan Muhammadiyah, Persis, Hidayatullah dan kawan-kawan. Bukankah tradisi-tradisi Slametan, Tingkepan, Maulid dan sejenisnya juga menyangkut hajat hidup elit-elit NU. Apa jadinya bila tradisi seperti itu musnah?

Agama Sinkretis

Bila ditarik sebuah kesimpulan, Pertama, konsep Islam Nusantara hanya menghasilkan praktek beragama yang sinkretik. Konsep Islam nusantara mengingatkan saya akan teori Clifford Geertz: “Abangan, Santri, dan Priyayi”. Teori ini benar-benar menggambarkan realita masyarakat Jawa yang telah mengalami sinkretisasi dengan nilai-nilai budaya dan tradisi lokal setempat.

Kedua, Konsep Islam Nusantara membuat Islam mengalami “jawanisasi”. Harusnya berdakwah itu Islamisasi Jawa dengan menghilangkan hal-hal yang mengandung bid’ah, khurafat dan Tahayul. Hal serupa terjadi di Eropa. Disana ada kebijakan Eropanisasi Islam. Alasannya agar Islam tak dipandang sebagai ancaman. Contoh praktek Eropanisasi Islam yakni meninggalkan cadar (Republika Nnline, 7 juni 2011).

Ketiga, Saya menyarankan daripada sibuk menggarap Proyek Islam nusantara, mendingan elit-elit NU menggarap entrepreneurship. Karena sebentar lagi akan bergulir MEA 2015. Saya tidak yakin apakah pesantren sebagai basis utama NU siap menghadapi serbuan tenaga kerja dan produk-produk Asing. Wallahu’allam bishowwab.



Ditulis Oleh: Fadh Ahmad Arifan (Penulis adalah Pendidik di MA Muhammadiyah 2, kota Malang)